Terima kasih buat yang udah nunggu cerita ini! Besok masih minggu, duh senangnyaaa masih bisa leha-leha.
Dah itu aja opening nya,
Selamat membaca!
🥀🥀🥀
Dasa hampir lupa kapan terakhir kali ia nonton tv. Mungkin lima tahunan lalu. Selama itu, atau tidak juga. Kadang ia tidak sengaja nonton tv di warung kopi milik Mbok Sulis, orang tua angkat Elano, ketika mereka sengaja kumpul untuk menikmati sepotong dua potong pisang goreng sambil membicarakan hal-hal tidak penting.
Tapi anehnya, selama itu ia nyaris tidak pernah menemukan nama Windy Amerta disebutkan di layar kaca. Aneh mengingat ketika ia masih hidup di tengah jalan Dasa terlalu sering melihat wajah perempuan itu terpampang besar di papan reklame, namun lambat laun perempuan itu seolah menghilang dari dunia hiburan yang dielu-elukannya.
Ketika nama perempuan itu disebut di berita selebriti dalam layar televisi Dasa tidak banyak berekspresi. Wajahnya lempeng seolah tidak lagi peduli. Tapi tiga temannya selalu gerak cepat mengambil remot. Dengan cekatan salah satu dari mereka akan meraih remote tv yang ditali karet nasi bungkus karena tutup baterai nya copot. Menghalau sepasang baterai nya supaya tidak jatuh tercecer ketika remote nya nggak sengaja kesenggol dan jatuh. Mengganti siaran tv nya.
Dasa tidak membenci perempuan itu. Ibu selalu melarangnya, dan Dasa ogah menyentuh panas nya api neraka. Meski makin kesini Dasa seperti hanya Denial dengan perasaannya. Ia bukan hanya marah, tapi rasa benci itu seperti hanya dia tutup-tutupi dari dirinya sendiri.
"Kamu bisa batalin kalau memang nggak mau bertemu Mama lagi, nak."
Piring bakwan yang membentur permukaan meja kaca menghentikan lamunan Dasa. Layar ponsel yang menayangkan drama Korea menyentuh menit ke empat puluh satu. Dasa melewatkan nyaris lima menit hanya untuk melamun. Ia menarik mundur garis horizontal ke menit tiga puluh tujuh, untuk memperhatikan apa yang dibicarakan tokoh dalam drama Korea yang akhir-akhir ini jadi tontonan favorit muda-mudi.
"Melamun lagi?"
Sosok perempuan berhijab yang kini duduk di kursi di sebelah Dasa adalah orang yang dia panggil Ibu. Namanya Mentari. Salah satu mantan pengurus panti Rumah Bulan yang memang dekat dengan Dasa. Wonder woman nya.
"Sedikit. Lagi mikirin mau nyanyi apa di penampilan pertama nanti," ucapnya sambil meraih bakwan yang masih panas.
Ibu merapatkan tubuhnya pada Dasa. Ikut nonton drama Korea yang jadi tontonan langganan Dasa belum lama ini.
"Kamu yakin mau ikut ajang pencarian bakat ini?"
Dasa menoleh. "Aku mau masuk tv, Bu. Siapa tahu nanti nambah followers Instagram. Ada endorse-an. Dapet duit buat beli gitar. Hehe." Kemudian nyengir.
Mentari menghela napas pelan. Dia tidak tahu kenapa Dasa memilih menyembunyikan apa yang dia pikirkan dengan pura-pura. Entah sejak kapan anak laki-laki itu mulai menutupi banyak hal dari dirinya. Padahal dulu Mentari mirip buku harian Dasa. Cowok itu menceritakan semuanya pada Mentari.
"Nanti ibu belikan waktu kamu ulang tahun."
Dasa menggeleng. Tanpa menatap Mentari ia bicara, "aku terlalu banyak ngerepotin Ibu."
"Kata siapa sih? Dasa kan anak Ibu, mana ada ngerepotin."
"Udah, Bu. Uang ibu biar ibu tabung aja. Dasa kepingin punya gitar dari uang sendiri." Meski Mentari tidak pernah mengatakan kalau Dasa merepotkannya tapi Dasa tahu diri. Mentari terlalu baik hati, Dasa takut. Dia takut tidak bisa membalas semua kebaikan perempuan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Timeless
FanfictionMahesa yang terbuang. Mahesa yang merindukan kasih ibunya. Mahesa yang terlupakan. Untuk segala luka yang tertoreh. Untuk lelah yang tak kunjung usai. Untuk rindu yang tak pernah tersampaikan, dan untuk setiap sakit dari pupusnya harapan. Kisah ini...