22. Tragedi

326 48 4
                                    

Sore itu langit tiba-tiba menggelap dan tak sampai lima menit kemudian hujan deras mengguyur jalanan. Deras sekali hingga oranga-orang hanya melihat bayangan putih yang memperpendek jarak pandang. Motor-motor yang tak banyak melintas langsung minggir tanpa pikir panjang. Meneduh di sepanjang pinggir pertokoan.

Helaan napas yang entah keberapa kali berhembus pelan dari bibir Windy. Dia berdiri di bawah kanopi kedai sayuran yang menghadap langsung ke jalanan bersama tas belanja yang terisi penuh. Di sebrang sana aroma dari besi rel yang diguyur hujan tercium samar. Dalam tas belanja ada bayam, beberapa bungkus tempe, ikan asin dan bumbu-bumbu dapur yang sudah nenek catatkan di sebuah kertas agar Windy tidak lupa.

"Deras banget, pasti Dewangsa lagi neduh." Windy bergumam sedih. Tangannya terulur di bawah rinai hujan. Menadah air.

Ada banyak pikiran negatif berkecamuk di dalam kepalanya. Tidak ada hubungannya dengan hujan, tapi ada hubungannya dengan Dewangsa-- pacarnya. Wajah prihatin sekaligus tak percaya bu Bidan masih terbayang jelas dalam kepalanya. Tangis nenek yang tumpah tanpa bicara terdengar lebih jelas dari hujan di sana.

Bagaimana kelanjutan dari kabar kehamilannya?

Windy masih belum genap tujuh belas tahun, tentu saja dia belum menikah tapi dia sudah punya pacar. Dewangsa. Laki-laki itu adalah ayah dari anak di dalam kandungannya yang sampai saat ini masih dia tampik kuat-kuat.

Sudah nyaris satu bulan Windy menyembunyikannya dari Dewangsa. Hanya dia, nenek, dan bu Bidan yang tahu tentang kabar buruk ini. Windy masih ragu untuk bicara jujur pada Dewangsa, apa lagi akhir-akhir ini hubungaan mereka tidak sedang baik-baik saja. Dewangsa sering kali marah tanpa sebab yang jelas.

Sudah tiga hari mereka sengaja tidak bertemu, lalu tadi siang tiba-tiba dewangsa menelpon nomer nenek karena Windy tidak punya telepon. Dewangsa minta bertemu sore ini lalu menawarkan diri menjemputnya ketika tahu Windy harus pergi ke pasar untuk membeli beberapa kebutuhan. Windy mengiyakan.

Di sinilah Windy sekarang. Melamun di antara suara deras hujan yang membuat orang-orang harus mengeraskan suaranya ketika bicara. Belum kunjung mereda. Beberapa motor terlihat nekat melaju di sana setelah menebak-nebak kalau hujan itu akan lebih awet dari sebongkah besar permen kapas dan tak sabar menunggu lebih lama. Beberapa dilindungi mantel, beberapa yang lain menerobosnya begitu saja.

Namun mereka salah kira, tak lebih dari durasi lagu kebanyakan hujan itu reda tanpa menyisakan gerimis. Meninggalkan aroma petrichor yang berbaur dengan sayuran busuk. Aroma bantalan rel kereta tercium lebih kuat. Langit berubah cerah secepat ia menggelap berpuluh-puluh menit yang lalu. Sebuah pelangi menyusul di timur cakrawala, melengkung tinggi.

Windy teringat dengan permintaan nenek agar secepatnya ia terus terang pada Dewangsa dan meminta pertanggungjawabannya. Nenek bahkan sempat mengumpati Dewangsa sebelum Windy menceritakan bagaimana hingga janin itu ada di sana.

"Anak kurang ajar!!"

Windy langsung meluruskan.

Bagaimanapun juga semuanya terjadi atas kehendak mereka berdua. Bukan hanya Dewangsa Windy juga bertanggungjawab atas dosa ini.

Lamunan itu berlanjut, menenggelamkan Windy dan membuatnya hanyut seperti samudra yang luas. Windy tidak peduli pada sekitar, hingga suara nyaring memekakan telinga. Berdenging keras menarik perhatian semua orang dan menarik Windy ke dunia nyata- bersamaan dengan pekik panik orang-orang.

Dari sebelah utara sebuah mobil truk tanpa muatan melaju sedang, sen nya menyala ke kanan. Di belakangnya kecepatan sebuah motor lebih cepat tiga puluh kilo meter per jam dan dari arah berlawanan motor lain melaju dengan kecepatan sama. Tragedi itu terjadi begitu cepat.  Mobil truk berbelok, motor di belakangnya berhasil menyalip sementara motor dari lain arah masih tak menyadari seratus persen.

Waktunya tak cukup untuk sekedar menarik tuas rem. Tabrakan kuat tak bisa dihindari. Kuda besi menghantam kuat badan mobil truk bersama si pengendara, lalu terseok beberapa centi ke bawah badan truk.

Beberapa orang mulai berlari dari stan-stan dagangan, menghampiri. Sementara kebanyakan dari sekian banyak orang terpaku di tempat mereka sebelum kemudian menyadarkan diri. Sama seperti Windy.

Mulutnya terbuka setengah, matanya melotot kaget. Dia memekik keras jika satu tangannya tak menutupi mulut. Kejadian mengerikan apa barusan?

Ada cairan kental merah yang berbaur bersama air hujan yang tersisa di atas aspal yang dingin. Menggenang sesaat kemudian ikut mengalir beberapa. Tepat di depan mata Windy.

"Telpon ambulan, telpon ambulan!" Seseorang bapak-bapak berseru memerintah. Wajahnya panik.

Windy mengerjap dua kali. Tanpa sadar kepalanya memutar lagi kilas kejadian mengerikan detik lalu. Motor hijau melon tak asing untuknya, tubuh berbalut jaket merah hati mendadak terasa familier. Aroma dagangan pasar berganti dengan wangi musk yang menusuk hidung hingga sesuatu yang berdetak di dadanya, terhujam di sana, menarik Windy kembali pada kenyataan.

"Dewangsa," bisiknya memberitahu dirinya sendiri.

Windy menjatuhkan tas belanjanya.

"Dewangsa!"

Teriakan Windy membuat mata orang-orang mengikuti kemana kakinya berpijak di atas aspal. Meninggalkan tas belanjanya menuju mobil truk yang masih tak bergerak meski mesinnya masih menyala. Terseok-seok langkahnya mendekati kerumunan, bersama sisa tenaganya yang mendadak terkuras dia mendorong bahu orang-orang untuk menyingkir dan membiarkannya lebih dekat.

Windy menjatuhkan lututnya di atas aspal. Dia merendahkan kepalanya hingga nyaris sejajar tanah. Rambutnya yang mulai memanjang tergerai menyentuh tanah, senada dengan pekat aspal yang basah. Ia menatap tubuh lemah yang terkulai bersimbah darah di belakang ban depan, di bawah badan mobil. Kurang dari satu meter dari tempatnya bersimpuh. Tangisnya pecah seketika, histeris berteriak memanggil-manggil nama kekasihnya.

"Dimana ambulannya? Dimana ambulannya?!" Windy mengedarkan pandangannya. Dia hanya mendapati wajah orang-orang yang menatapnya iba lalu kembali menatap Dewangsa.

Nyaris setengah wajahnya bersimbah darah. Sayu matanya terbuka meski berat, begitu juga dengan bibirnya. Windy menyadarinya lalu mengulurkan tangannya meraih satu tangan Dewangsa yang terkulai di kanan tubuhnya.

"Wi- win--" patah-patah laki-laki itu berusaha bicara namun terlalu sulit untuk sekedar bersuara lalu seruan lain menghentikannya.

"Minggir minggir!!"

Orang-orang seketika minggir. Membuka jalan lebar-lebar begitu melihat petugas kesehatan datang membawa tandu. Windy melepas genggamannya dan beringsut menyingkir. Membiarkan orang-orang berseragam itu membawa tubuh terluka Dewangsa ke ambulan dan membawanya pergi ke rumaha sakit.

.
.
.

To Be Continued

TimelessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang