"Apa Coach menyesal?"
Windy tersenyum. "Iya."
Ketika perempuan itu kembali sibuk dengan makanaan di atas piringnya di sebrang meja Dasa tertegun dengan satu kata dari bibir ibu nya. Dasa hampir menangis, namun kehadiran orang lain yang begitu tiba-tiba membuat air matanya urung menggenang lebih banyak di pelupuk mata.
"Siang, kak Windy!"
Tiga penghuni meja itu menoleh ke arah yang sama. Senyum Windy mengembang disusul derit dari kursinya ketika ia berdiri. "Siang, pak. Sudah lama nggak ketemu, bagaimana kabarnya, pak?"
Windy menjabat tangan laki-laki itu. Dasa dan Elano saling tatap setelah melempar sapa pada Soraya yang ikut serta dengan pria berjas yang terlihat disegani.
"Alhamdulilah saya baik. Kak Windy lagi makan bareng ... " laki-laki itu menunjuk dua anak laki-laki di sana lewat tatapannya. Bertanya.
"Mereka peserta yang punya progres bagus, pak, jadi sebagai reward sederhana saya ajak mereka makan siang. Eh, nak Soraya juga lumayan akrab sama Dasa 'kan?" Windy sering melihat dua remaja itu asyik berdua ketika menuju ruang latihan. Kini dia beralih pada gadis bergaun selutut di samping ayahnya.
"Oh ini yang namanya Dasa," kata pria itu yang kini mengarahkan tatapannya pada sosok anak laki-laki di kursi paling ujung. "Soraya pernah cerita soal kamu."
Dasa nyaris membuat seisi restoran menoleh gara-gara garpunya yang berbenturan dengan piring keramik. Salah tingkah. Dia membuang pandangannya kesembarang arah dan tidak sengaja mempertemukan matanya dengan iris Soraya sebelum kemudian mengarahkan tatapannya ke tempat lain. Apa saja yang penting tidak bersitatap dengan cewek itu. Cerita apa?
"Dasa, Elano, ini pak Ardiansyah Cahyo Wangsa. Kalian tahu NBMtv? Pak Ardi ini pendirinya." Itu tv sebelah yang berdiri puluhan tahun lamanya.
Dasa dan Elano manggut-manggut mengerti. Mereka ikut beranjak dari kursi dan menyalami pria tersebut.
"Ayahnya Soraya."
Elano mendekatkan bibirnya ke telinga Dasa hanya untuk berbisik hal tak penting. "Soraya ternyata orang kaya."
🥀🥀🥀
Lagi-lagi Dasa berakhir nongkrong di atap asrama. Lama-lama tempat itu seolah jadi punya Dasa dan teman-temannya saking seringnya mereka duduk-duduk di sana. Apalagi setelah tempat itu dibersihkan dari lumut dan sampah-sampah kayu yang tercecer daari tumpukan kursi rusak di sisi atap pagi tadi. Sekarang Dasa sendirian. Dia menghempaskan bokongnya ke undakan beton di balik tower air yang entah buat apa fungsinya."Assalamualaikum, Bu." Salam Dasa pada Ibu di sebrang telepon.
"Waalaikumsalam, nak Dasa. Ada apa?"
Sebegitu jarangnya ya Dasa menelpon ibu? Ah, Dasa jadi merasa bersalah. "Nggak apa-apa, Bu. Cuma kangen sama Ibu."
"Dasa lagi di asrama?"
Dasa mengangguk meski dia tahu ibu tidak melihatnya. "Bu, Dasa mau bicara sesuatu."
"Katanya nggak ada apa-apa ...," ungkitnya.
"Iya, ada apa-apa. Soal mama."
Jeda sejenak, mencipta ruang kosong dalam dada Dasa yang diisinya dengan sebuah tanya -apa yang ibu pikirkin?- sebelum suara ibu kembali terdengar.
"Mama sudah nemuin Dasa? Atau Dasa sudah bilang sama Mama?" Intonasi perempuan itu lebih halus dari sebelumnya.
"Nggak dua-duanya, bu. Tapi Dasa nggak sengaja denger beberapa minggu lalu ibu bertengkar sama manajernya yang dulu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Timeless
FanfictionMahesa yang terbuang. Mahesa yang merindukan kasih ibunya. Mahesa yang terlupakan. Untuk segala luka yang tertoreh. Untuk lelah yang tak kunjung usai. Untuk rindu yang tak pernah tersampaikan, dan untuk setiap sakit dari pupusnya harapan. Kisah ini...