Suasana rumah itu begitu lengang ketika Windy datang. Tidak pernah berubah, rumah itu terlalu sepi untuk ia huni sendiri. Tak peduli pukul satu siang atau dua dini hari rumah di kawasan elit itu tidak pernah di isi riuh redam obrolan masif.
Windy selalu menemukan rumahnya di dekap sepi setiap ia baru mau memulai aktivitas nya hingga ketika kesibukannya baru selesai menjelang pagi.
Hari ini pukul enam sore Windy sudah menginjakkan kaki di rumahnya. Terhitung sangat jarang, sebab perempuan itu lebih sering menginap di hotel dekat tempat nya bekerja ketika di buru jadwal syuting dan rekaman atau pulang larut malam.
"Mbak Sumi, tolong bikinin teh hangat ya. Tolong antar ke kamar."
Windy berlalu menapaki tangga seiring bunyi heals nya yang terdengar makin samar dari dapur. Perempuan itu merebahkan tubuhnya di kasur. Tidak peduli dengan tubuhnya yang lengket karena seharian berada di bawah sinar matahari. Sekar tengah memilihkannya piyama di wadrobe room, Windy bisa melihatnya dari pintu di ujung kamar yang terbuka. Lalu perempuan berusia tiga puluh dua itu berlari kecil seraya membawa dua setel piyama merah muda dan marun.
"Mau yang mana, Mbak Win? Karena sepertinya mbak Win mood nya lagi nggak bagus jadi aku saranin pilih warna merah muda supaya mood nya balik lagi. Tapi kayaknya mbak Win kehilangan semangat akhir-akhir ini jadi aku milih yang warna marun supaya bisa bikin mbak Win terbawa semangatnya dan mbak Win paling suka sama warna marun kan?"
Windy tersenyum tipis. "Maksih lho, Kar udah di pilihin yang sesuai. Aku mau yang merah muda."
"Siap. Oh iya air nya udah aku siapin."
Pegal di kakinya membuat Windy segera melepas heels lima centi yang seharian membungkus kakinya. Setelah heels itu terlepas Windy menghela napas lega. Tapi lecet di tungkak nya membuat perempuan itu meringis pelan.
"Kar, heels yang nggak bikin lecet tuh yang gimana sih? Yang harganya berapa?"
Sekar mengedikkan bahu. "Aku nggak tahu deh kalau soal begitu-begituan."
"Yah, kirain tahu. Dulu aku denger heels yang nyaman di pakai yang harganya oke. Tapi aku udah pakai yang sepuluh juta masih aja kaki ku lecet. Yang seratus aja masih kerasa sakit meski nggak sampai lecet. Aku harus pakai yang ratusan juta setiap hari gitu? Aku bisa bangkrut, Kar."
"Kalau gitu pakai flat shoes aja, mbak. Kaya Sekar. Nyaman, anti lecet!" Sekar mengacungkan kedua jempolnya.
"Tuntutan pekerjaan suka nyebelin sih!" gerutu Windy seraya melepas ikatan rambutnya.
Tidak ada yang melarangnya menggunakan flat shoes di industri hiburan tapi ketika ia bermain peran Windy lebih sering jadi wanita sosialita. Antagonis atau protagonis Windy selalu memerankan sosok terpandang. Dan mereka lekat dengan karakter anggun yang tidak jauh-jauh dari sepatu ber- hak. Kedua Windy adalah penyanyi yang lebih oke ketika kakinya di balut heels daripada sneekers yang sudah jelas lebih nyaman. Ke tiga jadwalnya yang padat membuatnya lebih sering mengenakan heels daripada sendal jepit atau flat shoes.
"Kalau ada Mbak Sumi teh nya tolong di taruh di nakas ya, Kar," tutur Windy sambil berlalu ke kamar mandi.
Sekar mengangguk. Sekar menyadari ada yang sedikit berbeda dari Windy seminggu terahir. Terutama setelah adegan membuang anak ke panti asuhan dalam film yang Windy perankan, perempuan itu jadi sedikit berubah. Berkali-kali Sekar memergoki Windy sibuk menelpon seseorang tengah malam di balkon kamarnya atau menangis seraya menatapi album foto di genggamannya.
Tidak seperti Windy Amerta yang selama ini Sekar kenal. Windy terlalu sering tidak fokus dan melamun. Hari ini adalah syuting terakhir film "Balas" yang Windy bintangi dan harusnya sekarang mereka tengah makan bersama aktror dan kru yang lain sebagai tanda suksesnya syuting hingga hari terakhir. Biasanya Windy akan jadi orang paling semangat, tapi hari ini perempuan itu memilih pamit lebih dulu. Membuat orang-orang di sana menatap Windy aneh.
Dering ponsel dari tas di atas kasur membuat Sekar menghentikan lamunannya. Ia meraih ponsel yang masih berdering itu. Sebuah panggilan dari nomor tidak di kenal membuatnya mengernyit khawatir. Sekar memilih menyerahkan ponsel itu pada pemiliknya.
"Mbak Win ada telpon," panggilnya mengetuk pintu kamar mandi dari luar.
"Bawa ke sini!"
Sekar mendorong pintu di depannya. Ia menemukan Windy berendam dalam bathup, semerbak wangi lavender memenuhi indra penciumannya.
"Dari nomor tidak di kenal, mau di angkat?"
Windy tertegun sebentar, kemudian ia berdehem dan mengangguk. Ponsel itu segera berpindah ke tangannya. Dan ketika pintu tertutup dan tubuh Sekar tak lagi terlihat Windy menggeser ikon hijau dan mendekatkan benda pipih itu ke kuping nya.
Dan ketika suara bariton itu menyapa telingannya, selintas bayangan di masa lalunya terlintas tanpa bisa ia kendalikan.
"Halo, Windy kenapa cari saya?"
.
.
.To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Timeless
FanfictionMahesa yang terbuang. Mahesa yang merindukan kasih ibunya. Mahesa yang terlupakan. Untuk segala luka yang tertoreh. Untuk lelah yang tak kunjung usai. Untuk rindu yang tak pernah tersampaikan, dan untuk setiap sakit dari pupusnya harapan. Kisah ini...