34. Surat Dari Orang Tak Terduga

220 47 5
                                    

Mentari ternyata sekekeuh itu tidak ingin Windy bertemu dengan Dasa. Setelah memaksa berusaha masuk ke ruangan anak laki-laki itu akhirnya Mentari sendiri yang menyeret perempuan itu pergi. Mentari lalu meninggalkannya dengan tatapan benci.

Windy tak berdaya. Tidak ada yang bisa dia lakukan dan akhirnya Windy membawa mobilnya pergi dari lingkungan rumah sakit. Perasaannya tidak lebih baik dari tadi malam. Justru Windy dibuat semakin runyam, Mentari pun terang-terangan menolaknya, sama seperti yang Dasa tulis dalam suratnya. Segalanya akan jadi lebih sulit.

"Aku ibu kandungnya. Aku yang lebih berhak atas dia!" Windy meracau seperti orang mabuk.

Dia frustasi setengah mati. Ingin menangis tapi yang terlampiaskan justru amarah. Dadanya membendung emosi yang dia ciptakan sendiri tanpa sadar hingga rongga-rongga di sana tidak bisa lagi menampung semuanya.

Windi mengeram. Siapa yang harus disalahkan? 

"Mentari sialan!" umpatnya. 

Emosi yang meledak-ledak tak juga membaik dengan macetnya kota dan dering telpon di dashboard.

"Andri," gumamnya menyebut satu nama.

"Halo!"

"Sialan. Kamu selalu sembarang bicara sama aku! Anak ku nggak meninggal dan kamu keterlaluan ngasih kabar burung dengan konteks kematian kayak gitu!" Perempuan itu tak membiarkan Andri bersuara lebih dulu. Lagipula ibu mana yang tidak marah ketika berita anaknya mati hanya berita buatan yang membuat takut.

Windy akui ia takut jika Mahesa benar-benar pergi---meski sudah bertahun-tahun Windy tak mengenalinya lagi.

"Oh ternyata dia masih hidup?" Seperti tak berdosa, Andri bertanya dengan nada sok polosnya.

"Semuanya masih nggak berada di tempatnya, artinya Mahesa belum boleh mati."

Andri tertawa. "Ternyata kamu masih jadi ibu yang kejam ya. Aku pikir setelah nyetir kaya orang gila kamu udah taubat."

Windy bisa melakukan apa saja demi Mahesa. Andri tidak tahu apa-apa, dan Windy tak perlu menjelaskannya lagi.

"Berarti kalau kamu udah dimaafin saama anak itu, anak itu boleh mati?"

"Jangan bicara seolah kamu mau membunuh dia, Andri!"

"Aku nggak sebosan itu."

"Terus, buat apa kamu nelpon aku?"

"Cuma memastikan kalau anak itu sudah mati ... atau belum. Ternyata belum. Ya udah deh. Aku seneng, semuanya akan semakin seru." Lalu Andri mematikan sambungannya tanpa kalimat pamit. Windy juga memilih abai dan melempar ponselnya ke tempat semula.

Jam segini jalanan sudah macet parah. Windy merasa tidak cukup punya tenaga, tapi tidak ada bayangan makanan yang cukup membuat dia nafsu. Akhirnya Windy hanya berputar tak jelas tanpa tujuan dan kembali ke tempat dimana banyak rasa bersalahnya tertinggal.

Rumah sakit.

🥀🥀🥀

Entah pukul berapa dan berada di tempat macam apa Dasa ketika Dasa siuman. Bunyi monitor komputer cukup membuat kepalanya yang pusing semakin berputar. Untuk sepersekian menit Dasa tidak bisa melihat dengan jelas yang ada di sekelilingnya. Bau khas rumah sakit menyeruak membuatnya ikut menutup hidung. Tapi Dasa terlalu lemah. Tenaganya nyaris tak tersisa.

Apa ia dibangunkan hanya untuk dicabut nyawanya?

Dasa ingat kok bagaimana mobil itu tak terkendali melaju menabrak tubuh kurusnya. Dasa masih bisa merasakan bagaimana tanah dan aspal mendekap tubuhnya dengan hangat. Dasa ingat semuanya.

Bahkan ia kira ia sudah mati dan tinggal menunggu malaikat mendatanginya, mengingat rasa sakit yang baru pertama ia rasakan karena sebegitu hebatnya. Dasa tidak bisa menjelaskannya dengan kata-kata. Tapi sekarang ternyata ia terbangun di rumah sakit, di ruangan penuh alat-alat medis yang canggih. Selang-selang terpasang di tubuhnya.

Tidak ada yang lain di sini selain dirinya.

Tapi hanya beberapa detik setelah Dasa membatin ia mendapati suara pintu yang dibuka. Tiga orang masuk ke dalam ruangan dan mulai memeriksa keadaannya. Salah satu dari mereka yang dasa duga adalah seorang dokter memberikan keterangan dengan bahasa medis yang tidak bisa Dasa mengerti dengan baik.

Setelah mereka pergi, pintu itu berdecit lagi. Kali ini seseorang yang Dasa rindukan deengan sangat, dan sudah sangat lama Dasa tidak menangis hanya karena merindukannya. Kali ini Dasa tudak menyadari kapan air mata aitu menggenang. Tiba-tiba air matanya jatuh di sudut mata.

Dasa tidak bersuara, hanya tangisnya yang bicara bagaimana sakit yang tubuhnya terima.

"Anak ibu ...."

Ibu Mentari pun sama. Dia tidak bisa menahan tangisnya dengan baik. Entah sedih atau bahagia, atau malah sakit melihat bagaimana tubuh itu kini begitu kurus.

"Aku tidur ... berapa lama, ... bu?"

"Dua.  Dua bulan." Wanita itu mendekati Dasa, lalu mengusap air mata anak itu yang luruh.

"Ada yang sakit?"

Dasa mengangguk dengan tenaga seadanya. "Dada Dasa ... sakit banget."

"Nanti disembuhin sama dokter. Jangan khawatir ya."

Dasa mengangguk lemah.

"Dasa ...."

Dasa tidak bersuara, dia hanya menatap mata Ibu Mentari sebagai jawaban.

"Kalau mama mau ketemu, apa Dasa mau?"

Mentari menunggu jawaban itu cukup lama. Cukup lama Dasa terdiam. Matanya yang semula tak berhenti menatap wajah Ibu mentari kini menatap yang lain. Dasa seperti menerawang, menimbang-nimbang jawaban---yang mungkin saja akan mudah ia jawab jika waktunya diputar ke tahun-tahun lalu.

Tapi ketika Dasa sudah berada di sini ... ketika semua pahit sudah ia lewati, semuanya tak lagi sama.

"Dasa ... nggak-- ingin bertemu sama mama lagi."

Hening hingga lebih dari satu menit. Ibu Mentari tidak menyangka Dasa benar-benar melepaskan semua yzng berkaitan dengan Windy. Seolah anak itu tidak pernah menginginkan sosok Windy sebagai ibunya hingga sebegitunya.

Mentari mengangguk. "Mama kamu nggak akan dateng ke sini. Tapi mama kamu kepengin kamu tahu isi hatinya. Kamu baca suratnya ya?"

"Surat---dari mama?"

Mentari mengangguk. "Surat buat Mahesa."

.
.
.
To Be Continued


TimelessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang