23.Berpisah

9.1K 989 228
                                    

Seandainya. Seandainya waktu bisa berhenti. Waktu bisa berputar kembali. Atau setidaknya, bisa berlari dan menghindari apapun yang akan terjadi. Namun, sayangnya semua di luar kuasanya. Seakan semesta mendukung hancurnya perasaan seorang perempuan bermata sembab. Mata yang sudah kehabisan air mata.

Gema.

Perempuan itu duduk terdiam di dalam mobil yang sedang berjalan menuju rumah tempatnya tumbuh. Duduk dengan pandangan mata tidak sedikitpun bergeser dari jendela mobil. Rintikan gerimis membuat kaca mobil buram seperti masa depannya. Gema mengedipkan matanya perlahan seakan telah kehabisan tenaga. Pikirannya sudah tidak berjalan. Dia ingin berlari, tetapi tidak bisa. Yang ada hanya pasrah dengan semua keputusan seseorang yang duduk di sampingnya.

Setelah semalam, tidak ada pembicaraan apapun. Hingga subuh menjelang, Gema hanya menangis di tempat yang sama saat Er meninggalkannya -- ruang tamu. Sepanjang malam dia hanya memeluk tubuhnya sendiri di atas karpet dengan suara isakan. Er? Perempuan itu tidak tahu suaminya di mana.

"Mas, kita--" parau suara Gema menyapa ketika Er membuka pintu kamar. Matanya menatap Gema yang tengah memasukkan baju-bajunya ke dalam koper di atas ranjang.

"Aku tunggu di mobil."

Hanya satu kalimat itu yang Gema dengar. Setelah itu, tak ada pembicaraan apapun hingga kini mobil yang mereka tumpangi sudah terparkir di rumah berlantai dua.

Gema menghela nafas sembari menahan air matanya. Sesingkat ini pernikahannya? Tiga bulan lalu, dia dijemput di rumah ini sebagai seorang istri. Dan hari ini, dia dikembalikan lagi.

"Aku yang akan menjelaskan ke Ayah."

Gema menoleh ke arah sumber suara. Wajah pucat dengan mata sendu yang menyimpan penuh kekecewaan menatap Er yang memilih menatap ke depan.

"Mas ingat pagi itu?" tanya Gema dengan suara yang sangat pelan. Er masih terdiam.

Gema memegang cincin yang melingkar di jari manisnya. Menunduk, melihat cincin itu diputar-putar. "Pagi saat Mas membuat janji besar. Mistaqan ghaliza. Salah satu janji besar pada Allah disaksikan ribuan malaikat. Pagi yang tidak akan terjadi jika Mas tidak menyanggupi." Gema menjeda sesat. Kepalanya terangkat. Dia bisa melihat tangan Er yang mencengkram stir mobil dengan erat. "Sore itu, saat Mas datang melamar Gema. Gema sudah meminta Mas untuk memikirkan semuanya. Karena pernikahan bukan semua permainan yang bisa dimulai dan dihentikan kapanpun ketika sudah bosan atau tidak ingin." Gema diam dan menghela nafas panjang. Tangannya meraih Sling bag dan menggantungkannya ke bahu kiri. Matanya menatap sesaat kepada seorang pria yang sudah berdiri dengan senyum lebarnya di teras. Pria yang akan terluka pagi ini.

Gema mengalihkan pandangannya. "Wallahi, Mas. Gema tidak ridho kita berpisah," ujar Gema sebelum membuka pintu dan menjejakkan kaki di paving halaman.

Perempuan itu mengusap matanya cepat, menghela nafas panjang, dan tersenyum lebar ke arah pria yang sudah menunggunya keluar dari mobil. Gema berjalan cepat dengan senyum bahagia.

"Ayah! Gema kangeeen!" teriak Gema dan langsung memeluk Elang yang sudah terkekeh.

Elang membalas pelukan putrinya yang hari mengenakan jilbab berwarna hitam, sama dengan khimarnya.

"Ayah juga kangen banget. Ayah kaget lho, Mba Gema dateng pagi-pagi," ujar Elang sembari mengusap puncak kepala putrinya. Gema tidak kuat menahan air matanya. Masih memeluk erat Elang saat Elang merusaha menjarakkan tubuhnya.

"Ndak malu itu sama Er, Mba. Udah gedhe lho," canda Elang yang membuat Gema semakin sesak. Gema menjarakkan tubuny sembari mengusap sudut matanya.

"Lho kok nangis?"

Gema tersenyum, lalu menggeleng. "Kangen banget sama Ayah."

Elang tersenyum, lalu mengarahkan matanya ke Er yang berjalan membawa koper milik putrinya.

SATU RUANG DOA (SELESAI)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang