6. Pesan Bunda

7.1K 779 28
                                    

"Tadi dianter siapa? Calon?"
Gema yang sedang membereskan note dan beberapa berkas di atas meja menoleh ke arah suara yang masuk ke telinganya. Di sampingnya, berdiri seseorang yang menatapnya dengan melipat tangan dan menyenderkan punggung bawah ke pinggiran meja meeting.

Dua menit lalu, Gema baru selesai meeting dengan beberapa Manager dari departemen lain, tentu saja dipimpin oleh laki-laki yang sekarang masih menatapnya dengan sebelah alis yang terangkat.

Gema mengalihkan pandangannya dan kembali segera membereskan berkas.

"Bukan siapa-siapa, Kak. Maaf, Gema permisi." Perempuan itu memeluk barang-barangnya dan berbalik untuk segera meninggalkan ruang meeting yang sudah sepi. Di sana hanya tersisa dirinya dengan Er. Dan itu tidaklah baik.

"Gem," panggil Er sembari menahan lengan Gema. Membuat perempuan itu berbalik dan menghempaskan tangan Er dengan kasar dan kesal. Gema menatap Er dengan tidak suka. Sedangkan, Er terpejam sebentar dan menghela nafas sebelum menatap Gema yang kini tepat di depannya.

"Sorry, Gem. Tapi, ayo menikah sama Kakak." Er menegakkan tubuhnya dan menatap Gema dengan lembut. Gema yang ditatap demikian memilih membuang pandangannya asal.

"Setidaknya, kita jalani perkenalan dulu. Kakak temui Ayah kamu," lanjutnya ketika Gema masih terdiam.

Gema menghela nafas panjang. Pernikahan pernikahan dan pernikahan! Kenapa semua orang membicarakan hal tersebut dan membuat Gema rasanya ingin meledak. Tala yang akan menikah, tetapi dia yang harus menikah juga? Er yang ingin menikah, kenapa harus meminta dia untuk diajak menikah?

Semua akan mudah jika dua makhluk berjenis laki-laki itu tidak menyeretnya.

"Gem nggak bisa, Kak." Gema menoleh dan menatap Er yang sepasang matanya kembali redup.

"Kenapa? Oh, berarti benar laki-laki tadi calon kamu. Baiklah, emang seharusnya aku mundur sejak awal. Semoga bahagia." Er menepuk puncak kepala Gema tiga kali sebelum berlalu keluar ruangan dan meninggalkan Gema sendirian.

Bukannya keluar. Gema malah kembali mendudukkan diri di kursi tempatnya tadi mengikuti meeting selama satu jam. Perempuan itu melipat kedua tangannya di atas tumpukan berkas dan note, lalu menyembunyikan wajahnya di sana.

Apakah masalah terlalu sulit? Atau dia yang terlalu berlebihan menghadapi semua perkara pernikahan ini.

Calon? Er ada-ada saja, mana bisa dia menikah dengan Tala yang merupakan saudara seayahnya.

"Mas yang anterin," ujar Tala ketika Gema sudah keluar dari pintu dan hendak menghampiri Xe yang sudah siap dengan sepeda motornya. Sebelum Gema sempat menolak dan protes, Tala sudah lebih dulu menarik lengan Gema dan memasukkan ke dalam mobil.

"Gema mau bareng Xe aja," kata perempuan itu dengan tangan yang hampir membuka pintu mobil kembali. Tetapi, semua gagal saat Tala sudah mengunci otomatis pintu mobilnya sehingga membuat Gema memincing menatapnya.

Tala melajukan mobilnya keluar halaman rumah dan mengarah ke daerah tempat saudara perempuannya itu bekerja. "Kalau bareng Xe, sepedanya ndak bisa dibawa. Besok kerja mau pakai apa?" Tala menoleh sekilas ke arah Gema yang menatap jalanan dengan datar.

Memang, pernyataan atau informasi yang dikatakannya tadi membuat Gema kesal. Dia yang akan menikah tapi kenapa membawa Gema juga. Apalagi meminta perempuan itu menikah juga dan dalam waktu dekat, agar pernikahannya dengan calon istrinya bisa segera dilakukan juga.

"Mas minta maaf..." ujar Tala melirik Gema yang masih diam. Meskipun demikian, Gema pasti mendengarkan kata-kata yang Tala ucapkan. Dengan tetap fokus menyetir, Tala mencoba berbicara kepada Gema kembali. Meluruskan apa yang harusnya memang perempuan itu ketahui, meskipun cukup terlambat.

SATU RUANG DOA (SELESAI)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang