38. Kurma (2)

7.2K 999 123
                                    

Sudah berhari-hari Bandung diguyur hujan. Beberapa wilayah sudah terendam banjir, seperti jalan Pagar Asih, daerah Gedebage, Ujung Berung, Antapani, dan daerah lainnya. Keadaan tersebut membuat udara sangat-sangat dingin. Jika tidak memiliki kepentingan tertentu, tentu berdiam diri di rumah adalah pilihan yang tepat.

Jam di ponsel sudah hampir menunjukkan pukul dua dini hari, tetapi hujan belum juga reda. Suara air langit itu menyamarkan kegiatan sakral dan intim di sebuah hotel yang terletak di daerah Lembang.

Udara dingin tidak sedikit pun terasa bagi mereka. Yang ada hanya keringat yang mengucur tanpa dapat dicegah. Kehangatan yang lahir begitu saja. Sebuah perasaan yang lahir dari dua insan. Dua manusia yang akhirnya menemukan oasis setelah ribuan kilo meter mereka berjalan di gurun pasir tanpa hujan. Mereka adalah dua manusia yang telah bersabar berpuasa hingga menemui waktu buka dengan kurma manis melegakan dahaga.

"ARGH!" erang seseorang dengan suara berat sembari menjatuhkan badannya.

Terdapat hening sesaat yang ditemani suara nafas saling berderu.

"Makasih, Mas," bisik seorang perempuan dengan sudut mata yang sudah basah. Bibirnya mengecup singkat seseorang yang masih terengah di atasnya.

Gema, perempuan itu menarik selimut hingga menutup bahunya dan Er. Dengan mata berkaca, Er tersenyum dan membawa Gema untuk tidur saling berhadapan dengan posisi miring. Laki-laki itu menarik istrinya ke dalam pelukannya. Memberi satu kecupan singkat di bibir manisnya, lalu dengan erat, dia memeluk Gema. Er mencerukan wajahnya ke bahu perempuan itu. Mengucap banyak syukur kepada Sang Rabb atas nikmat rasa buka puasanya.

Tanpa dapat dicegah, laki-laki itu menangis tersedu-sedu. "Maaf menunggu selama ini," bisik Er dengan suara parau. Gema tersenyum dan mengelus rambut suaminya. Perempuan itu diam dan memilih mengeratkan pelukannya. Setelah sekian lama penantian, masa itu datang juga. Masa di mana Er memenuhi kewajibannya dan Gema mendapatkan haknya.

Gema tahu, masa sulit-sulit Er hingga di titik ini. Ada ketakutan dan kecemasan yang terus dia tekan perlahan-lahan. Ada tekat yang kuat dan cinta yang besar kepada Gema sebagai istrinya.

Bukan tidak tahu, Gema selalu mendapati Er termenung sendiri tengah malam dengan lampu yang temaram. Atau Er yang pandangan kosong ketika menatap keluarga lengkap dengan anak-anak lucu ketika sedang berjalan-jalan. Er yang membelikan banyak kado kepada karyawan atau istri mereka yang baru melahirkan. Er yang terdiam saat teman-temannya dulu membagikan foto bayi mereka di media sosial.

Gema tau itu semua. Namun, perempuan itu tidak mau terlihat mengasihani suaminya. Gema tidak ingin ego Er terluka. Sebab, bagaimanapun dia tidak dapat mengetahui betul perasaan suaminya. Seterlukanya Gema, Er lebih terluka. Semenderitanya Gema, Er lebih menderita.

Gema percaya, bahwa ini adalah bentuk ujian yang Allah berikan kepadanya. Menguji apakah Gema tetap setia atau memilih mundur hanya untuk mencari sesuatu yang tidak dapat Er berikan.

Gema tidak mau mengeluh sebab dia malu dengan orang-orang di luar sana yang lebih lama berjuang di banding dia. Menikah adalah ibadah yang ujiannya bisa berbagai bentuk dengan level masing-masing. Bukan hanya tentang sesuatu yang berkaitan dengan ranjang. Namun, tentang bagaimana menerima kekurangan dan kelebihan dari pasangan layaknya puzzel. Terdapat bagian yang simetris untuk menerima ketidak simetrisan pasangan hingga membentuk sesuatu yang lebih baik.

Gema menggeliat saat suara alarm berupa muratal terdengar samar-samar di telinganya. Perempuan itu perlahan mengerjap dan memuka mata. Tangannya meraba nakas untuk mengambil ponsel di sana.

Masih setengah jam menuju subuh. Dengan mata yang belum terbuka sempurna, Gema menoleh ke sisi sampingnya.

Kosong.

SATU RUANG DOA (SELESAI)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang