17. Surabaya (1)

4.9K 637 28
                                    

Perempuan dengan jilbab hitam juga khimar senada itu melangkah menaiki tangga. Kakinya melangkah mendekati sebuah pintu yang tertutup rapat. Perempuan itu mengulurkan tangan dan mengetuk pintu yang terbuat dari kayu tersebut. Tanpa menunggu respon dari dalam, dia meraih handle pintu dan membuka pintu yang tidak terkunci tersebut.

Perempuan itu menghembuskan nafasnya saat punggung seorang laki-laki yang sedang duduk membelakanginya tertangkap oleh sepasang netranya.

Dari belakang saja sudah jelas bahwa laki-laki itu sedang sibuk terhadap laptopnya yang menciptakan suara keyboard ditekan dengan cepat dan keras.

"Gema kasihan sama laptopnya," ujar perempuan itu sembari meletakkan sebuah kantor plastik berlabel salah satu minimarket yang sudah terkenal di Indonesia.

Suara keyboard mendadak hilang. Laki-laki itu menoleh ke arah Gema yang sudah berdiri di samping kursi laki-laki itu.

"Tuh kan, laptopnya demam. Hampir meledak ini," lanjut Gema menyentuh bagian bawah laptop tersebut. Bukan tanpa alasan Gema mengatakan demikian, laptop yang sedang berada di atas meja tersebut memang panas sekali. Mungkin jika ada telur, telur tersebut dapat matang dengan mudah.

"Kok ke sini, Mba? Sama Er?" tanya Tala memutar kursinya, mengikuti Gema yang melangkah menjauh dari meja.

Gema mengangkat bahunya dan mendudukkan diri di pinggir ranjang. Kamar itu masih sama suasananya seperti beberapa bulan lalu saat Gema datang. Tidak ada yang berubah, kecuali beberapa gelas kosong yang bernoda kopi berada di atas meja kerja laki-laki tersebut.

Gema mengabaikan pertanyaan saudara seayahnya itu. Perempuan itu mengedikkan dahunya ke arah plastik yang tadi dia letakkan di atas meja.

"Ada es krim sama pokki, Mas. Gema bawain khusus buat Mas Tala. Matiin laptopnya, biar dingin. Otak Mas Tala juga biar adem."

Talla, laki-laki itu hanya melirik plastik tersebut lalu bangkit dan melangkah membuka pintu yang menghubungkan balkon dengan kamar. Laki-laki itu menghela nafas panjang dan berat sembari menumpukan tangannya di panggar pembatas. Matanya menunduk menatap halaman belakang.

Tala bisa merasakan sebuah tangan menepuk bahunya dua kali.

Laki-laki itu menoleh. Di sampingnya terdapat Gema yang ternyata mengikutinya. Perempuan itu menaikkan sebelah alis sembari mengulurkan es krim coklat yang bagian atasnya sudah dibuka ke arahnya.

Tala menatap lama perempuan itu dengan tatapan datar. Sedangkan Gema masih belum menurunkan tangannya.

"Pegel tau!" keluh Gema pura-pura kesal.

Sedetik setelah itu, tubuh Gema ditubruk oleh Tala yang memeluknya dengan erat. Bahkan perempuan itu sampai terkejut dibuatnya. Tala membungkukkan badan sembari mengucapkan maaf dengan rasa penyesalan. Gema tersenyum sembari menghela nafas, tangan kirinya yang bebas mengusap punggung adiknya. Tangan kanannya harus menahan es krim yang pasti mulai meleleh.

"Maaf, Mba."

Gema menjarakkan tubuhnya. Menatap Tala dan menarik tangan laki-laki itu agar mendudukan diri di bangku yang tersedia di sana. Setelah keduanya duduk, Tala masih menatap Gema dengan tatapan penyesalan. Gema tersenyum dan menggeleng.

"Kenapa minta maaf? Karena Gema udah terlanjur nikah sama Mas Er? Karena Gema nikah sama Mas Er agar Mas Tala sama Mba Ran nikah? Tapi, tujuan itu tidak terlaksana dan Mas Tala menyesal?" Gema menggeleng sekali lagi. Perempuan itu menghadapkan kepalanya ke depan. "Ambil ibrahnya, Mas. Mungkin, kalau tidak ada rencana itu Gema belum menikah. Belum bisa mendapat pahala dari suami." Gema menoleh ke arah Tala yang memperhatikannya. "Bukan Gema yang harus Mas pikiran, tapi diri Mas sendiri."

SATU RUANG DOA (SELESAI)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang