5.2 Apalagi?

6.9K 784 42
                                    

Gema menutup buku itu dengan kasar, bersamaan basah kedua matanya untuk kesekian kali. Dadanya sesak, hatinya nyeri, dan rasanya masih sama dengan satu tahun lalu ketika dia menemukan buku itu untuk pertama kalinya.

Goresan yang terasa rapuh, setiap kata terasa menyayat jiwanya. Sesakit apa Bundanya dulu menghadapi semuanya?

Melihat tanggal di sudut sana, membuat Gema kembali memeluk erat buku usang itu. Hari kesakitan Bunda adalah hari lahirnya. Harinya berjuang di ruang operasi dan berakhir di NICU. Hari di saat dia lemah dan Bunda hampir gila.

"Mba, dipanggil A--yah." Suara Xe terbata dan terjeda ketika matanya menangkap punggung kakaknya bergetar membelakangi pintu kamar. Perempuan itu duduk masih dengan baju yang sama ketika bada magrib tadi datang bersama Tala.

"Kenapa, Mba?" tanya Xe tergesa menutup pintu dan menguncinya. Laki-laki itu menyentuh pundak Gema yang semakin terisak. Tanpa mengatakan apapun, Xe menarik kedua bahu kakaknya dan membawanya dalam pelukan. Laki-laki itu masih berdiri di samping ranjang. Sedangkan, Gema sudah meremas kaos milik adiknya dengan isakan yang semakin ketara. Xe menarik nafas pelan sembari mengusap punggung Gema berusaha menenangkan.

Sejak satu tahun lalu, perempuan itu terlihat lebih rapuh dan lemah. Gema yang dikenal ramah, ceria, dan banyak bicara seakan hilang tak bersisa. Hanya ada Gema yang membangun tembok sebagai batasan agar tidak kecewa. Hanya ada Gema yang sering menangis sendirian di tengah malam. Hanya ada Gema yang tidak lagi percaya kepada siapapun.

"Mba..." panggil Xe pelan sembari menjarakkan tubuhnya ketika isakan Gema mulai tenang. Laki-laki itu berjongkok mengusap pipi Kakaknya dengan sayang.

"Capek! Mba capek, Xe!"

Xe memejamkan mata sebentar sebelum menatap mata Gema yang basah dan buram. Digenggamnya tangan perempuan itu dengan pelan. Laki-laki itu menghela nafas.

"Mba benci Ayah!"

"MBA!" Bentak Xe akhirnya membuat Gema terdiam dengan mata yang kembali basah. Laki-laki di hadapannya seperti bukan adiknya. Sosok lain yang tidak Gema kenali.

"Istighfar, Mba. Istighfar..." Xe berusaha mengendalikan suaranya. Dia tidak ingin Gema menjauhinya pula.

"Mau sampai kapan kayak gini? Dendam, menyimpan amarah, mendiamkan Ayah? Merasa bahwa Mba yang paling terluka!"

Gema memicing mata ke arah Xe dengan tangan yang dia lepas kasar. Xe mengusap wajahnya kasar ketika perkataannya tidak lagi dapat terkendali.

"Ayah memang salah. Oke, ketika itu Ayah salah dengan keputusannya. Tapi, Mba nggak adil hanya melihat waktu itu! Mba menulikan diri dari segala macam kisah dan cerita bagaimana perjuangan Ayah. Bagaimana Ayah mempertahankan Bunda!"

Xe bangkit dan berdiri membelakangi kakaknya yang semakin hari semakin bebal. Perempuan itu sudah kehilang adab kepada Ayah kandungnya. Setahun tidak mengubah apapun.

"Tapi, Xe! Bunda terluka!"

"Bunda bahagia, Mba! Hanya saja tidak Bunda tuliskan di buku itu!" Xe membalik dan menunjuk buku yang masih berada di pangkuan kakaknya. Buku yang membongkar segalanya.

Satu tahun lalu, Gema tidak sengaja menemukan buku milik Almarhum Bunda. Buku yang membuat Gema memandang salah kepada Ayahnya. Gema yang pada akhirnya mengetahui bahwa dialah orang terakhir di antara banyak orang yang tahu fakta tersebut. Dialah orang yang terakhir tahu bahwa wanita yang biasa dia sebut Tante adalah mantan istri kedua Ayahnya. Dia baru tahu bahwa laki-laki yang menjadi satu-satunya teman laki-laki adalah saudara seayahnya. Tala, sosok yang dia kenal dari kecil adalah hasil penghianatan itu.

SATU RUANG DOA (SELESAI)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang