2. Er Rafee

8.7K 804 23
                                    

Yogyakarta.

Kota yang mendapat julukan Istimewa itu memang berbeda. Semua elemen yang membentuk salah satu provinsi Indonesia itu membuat setiap orang mencipta kata rindu untuk Jogja. Ada kata kembali setelah bertandang. Dan ada janji untuk kembali mengunjungi. Katakan saja Gema beruntung bisa tumbuh di kota yang banyak dijadikan sebagai kota tujuan di daftar liburan. Tidak satu dua pelajar yang mengidamkam untuk bisa berkuliah di kota gudeg tersebut. Sedangkan Gema? Ah rasanya, dia sudah hafal setiap sudutnya. Mungkin juga, atmosfer yang Jogja berikan membuatnya memilih berkuliah dan bekerja di sana. Tidak berminat mencicip nikmatnya kota-kota lainnya. Anggap saja, Gema adalah perempuan yang memilih berjalan di zona nyamannya. Dia malas membayangkan garis adaptasi dengan budaya dan bahasa yang baru. Dan kemalasannya didukung oleh Ayah, keempat eyangnya, juga Om yang overprotective kepadanya.

Yogjakarta. Kepadatannya pun tidak jauh beda dari kota besar lainnya. Hanya saja, tidak ada bising klakson di jalan raya. Semua berjalan dengan kelapangan hati bahwa setiap orang memiliki hak yang sama sebagai pengguna jalan. Wajah ramah mereka, membuat hati tentram. Garis-garis wajah orang tua yang sedang mencari nafkah di pagi yang masih berembun itu menjadi suntikan vitamin bagi Gema di kegiatannya mengayuh sepeda menuju kantor. Biasanya dia akan mampir ke tempat penjual bubur gudeg langganannya untuk sarapan di kantor. Berceloteh sebentar kepada Budhe Har yang sibuk melayani pembeli.

"Suwun nggeh, Budhe. Monggo..." pamit Gema sembari melebarkan senyum kepada pembeli di sana.

Kakinya kembali mengayuh pedal sepeda. Lima tahun sepeda itu menemaninya. Dari mulai maba hingga menjadi pekerja. Bedanya, sekarang di kepalanya ada helm sepeda yang adiknya hadiahkan khusus untuknya. Helm berwarna navy yang ketika itu diberikan dengan senyum lebar Xe di depan pintu kamar rumah.

"Mba! Xe punya hadiah buat, Mba." Gema yang sedang setengah berbaring di atas ranjang menoleh ke arah pintu yang membingkai tubuh adiknya. Laki-laki dengan seragam putih abu-abu itu melangkah sembari menyembunyikan sesuatu di belakang tubuhnya. Gema mengeryit dan menegakkan tubuhnya. Tangannya menutup buku dan menyimpannya di atas nakas.

"Hadiah apa? Perasaan Mba ndak milad," tanya Gema menurunkan kedua kakinya sehingga duduk di pinggir ranjang. Xe hanya senyum-senyum dan masih berdiri di depannya.

"Bukan kado milad, ini lebih spesial." Gema mengangkat sebelah alisnya. Sebenarnya, milad alias hari jadi atau ulang tahun tidak menjadi tradisi di keluarganya. Hanya saja, sesekali mereka memberikan hadiah tanpa ucapakan ulang tahun. Hibah.

"Taraaaaaaa!"

Gema mengeryit kerika Xe mengulurkan helm berwarna navy sembari tersenyum lebar dan ceria.

"Helm?" hanya itu yang bisa Gema ekspresikan. Xe mengangguk yakin. "Ini khusus buat Mba lho. Liat nih! Ada nama Mba Gema biar nggak dicolong," ujar Xe memberi tahu sembari menunjuk jejeran huruf di bagian samping helm itu.

"Xe nabung tau," tambah Xe ketika Gema meraih helm itu. Xe itu memiliki kepekaan di atas rata-rata. Sweetnya over seover sikap menyebalkannya. Laki-laki itu khusus membelikan helm dengan uang tabungannya ketika mengetahui Gema sudah diterima kerja dan memutuskan untuk tetap menggunakan sepeda. Dan helm adalah hadiah yang tepat untuk Gema.

"Uluhhhh... Jazakallahu khayr, Nataya." Gema menyerbu tubuh adiknya dan memeluknya erat. Meskipun dengan decakan sebal, Xe membalas pelukan kakaknya. "Jangan panggil Nataya tho!" protes Xe. Gema terkekeh dan menjarakkan tubuhnya. "Lho, emang Nataya tho. Nataya Nataya Nataya!" Goda Gema sembari mencubit kedua pipi adiknya dengan gemas.

Dengan bibir yang monyong lima senti, Xe bersuara sebal. "Kayak cewek tau!"

"Gema!" senyuman Gema di sela lamunannya buyar ketika satu suara menyapa telinganya. Bahkan saking kagetnya, sepedanya sempat oleng jika saja gadis itu tidak segera mengendalikannya.

SATU RUANG DOA (SELESAI)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang