18. Surabaya (2)

5K 637 51
                                    

Gema bercermin sekali lagi. Perempuan itu menarik dan menghembuskan nafasnya berulang kali, upaya untuk meredakan jantung yang bertalu-talu di dalam dadanya.

"Ayo, Gem. Relax, santai, udah halal." Ulang Gema untuk kesekian kalinya sembari menyisir rambutnya yang sudah tergerai.

"Ya Allah, deg degan," kata Gema yang sekarang memilih mendudukkan diri di atas kloset yang tertutup. Perempuan yang memakai handuk kimono itu mengusap pelipisnya yang basah. Sungguh, tubuhnya tidak bisa berbohong bahwa dia deg degan luar biasa. Rasanya seperti akan memasuki ruang sidang skripsi. Ah tidak! Ini lebih dari itu, mungkin tiga kali lipatnya.

Setelah menghembuskan nafas sekali lagi, Gema akhirnya berdiri dan mematikan keran yang sejak tadi dia nyalakan agar Er menganggapnya masih mandi di dalam. Perempuan itu melangkah pelan dengan hanya mengenakan handuk kimononya saja. Sengaja, karena ada hal yang akan Gema lakukan. Ada misi yang akan Gema luncurkan.

Perlahan, perempuan itu keluar dari kamar mandi. Di lihatnya ruang kamar hotel tersebut redup. Terlihat jelas tab Er yang menyala menyorot wajah laki-laki yang duduk bersandar di kepala ranjang. Matanya sangat fokus menatap layar yang pasti menampilkan pekerjaan. Sebenarnya, sore tadi keduanya seharusnya sudah terbang menuju Yogyakarta setelah berkeliling sebentar, tetapi ternyata Er lupa bahwa besok laki-laki itu memiliki agenda di Malang. Untung saja, sekretaris suaminya itu mengingatkan. Jika tidak, semuanya tidak karuan. Akhirnya, karena Er juga harus mempelajari materi presentasi dan jarak Surabaya dekat sekali dengan Malang, laki-laki itu memutuskan untuk menginap di hotel saja sebelum nanti besok subuh bertolak ke Malang.

Sebenarnya, Nimas dan Agam sudah melarang keduanya menginap di hotel, tetapi Gema mengatakan kepada Nimas bahkan tidak nyaman satu atap dengan laki-laki nonmahram. Oleh karena itu, Nimas mengizinkan Er dan Gema menginap di hotel.

Nimas menaikkan diri ke atas ranjang, gerakan Gema tidak sedikitpun mengalihkan fokus suaminya. Untuk sedikit meredam detak jantung dan keraguannya, Gema memainkan ponsel sebentar sembari ikut menyenderkan punggungnya. Dan tiba-tiba ragu menyelinap ke dalam perasaannya.

"Mba Gem nunda ngga?" tanya Nimas yang sedang menuangkan tepung dalam wadah. Gema yang membantu memecahkan telur menoleh lalu menggeleng.

"Udah telat?"

Gema menggeleng lagi. Nimas mengernyit sebentar saat menangkap kejanggalan dari putrinya itu. "Mba, belum?" tanya Nimas ragu. Gema tidak menjawab, perempuan itu menunduk dan meneruskan kegiatannya memecahkan telur. Bukannya meneruskan, Nimas malah membawa Gema ke dalam kamarnya. Meninggalkan bahan-bahan kue yang tertunda berubah menjadi bolu.

Nimas menggenggam tangan Gema yang duduk di hadapannya. Keduanya sudah duduk di pinggir ranjang dengan posisi menyerong saling berhadapan.

"Mau cerita sama Ante?" tanya Nimas pelan. Perempuan itu selalu memposisikan diri sebagai ibu bagi Gema, seperti pesan Sarah sebelum kepergiannya. Wanita itu meminta Nimas untuk selalu mengisi kekosongan hati Gema akan sosok ibu, meskipun Nimas tahu kapasitasnya.

"Mas Er nggak pernah minta, Nte."

"Mba pernah nolak?"

Gema menunduk, dengan ragu perempuan itu mengangguk. Dia tidak pernah lupa malam setelah akad hari itu, saat Er memberanikan diri mengambil ciuman pertamanya. Jika saja saat itu dirinya tidak menginterupsi Er, mungkin semua sudah terjadi.

"Mba takut kecewa, Nte."

Nimas mengusap punggung Gema, mencoba memahami keadaan Gema yang memiliki trauma tersendiri dengan kepercayaan dan laki-laki. Dan ada andil dirinya di sana.

SATU RUANG DOA (SELESAI)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang