30. Er Rafee

6.7K 917 148
                                    

Rumah itu selalu sepi sejak sebulan lalu. Kembali tidak ada warna atau lebih tepatnya lebih muram dari sebelum pemiliki rumah membawa seseorang untuk dijadikan teman. Seseorang yang sesaat menjadi warna mulai dari dia membuka mata hingga kembali terpejam menjemput kematian sesaat.

Kamar yang lebih sering temaram. Kasur yang lebih sering tertata rapi sebab tak ditiduri. Juga yang menyedihkan adalah harum parfum perempuan itu mulai lenyap tak lagi meninggalkan jejak di setiap jengkal sudut kamar itu.

Er memutus ingatannya. Meredam sesak yang kini telah menyerang tubuhnya. Lima belas menit lalu dia baru saja menyelesaikan meeting online melalui google meet. Bukan karena dia sedang berada di luar kota sehingga tidak dapat memimpin rapat di kantor, melainkan laki-laki itu akhirnya tumbang terkapar di rumah selama tiga hari. Demam menyerang tubuhnya hingga dia harus mengambil cuti. Dan tiga hari ini dia sudah mulai kembali bekerja meskipun dari rumah. Dia tidak bisa meninggalkan pekerjaannya lebih lama karena kantor sedang hectic mempersiapkan produk baru.

Er menghela nafas. Menatap figura yang masih berdiri kokoh di atas meja kerjanya. Potret cantik seorang perempuan yang mampu membalikkan kehidupannya.

Sudah hampir satu minggu proses gugatan berjalan ditangani oleh Daniel. Waktu yang Er anggap berjalan lambat seakan semesta memang sepakat membunuhnya secara perlahan. Sesungguhnya, tidak ada kesakitan yang lebih menyiksa daripada kediaman seorang diri.

Er bangkit dari bangku. Laki-laki itu mengedarkan pandangannya pada setiap apapun yang ada di kamar. Di sana masih tertinggal barang-barang miliki Gema. Buku-buku dan juga benda lainnya. Dia ingat ketika mengantarkan Gema, perempuan itu hanya membawa satu koper berisi baju saja.

Er melangkah mendudukkan diri di tepi ranjang. Mengusap sisi tempatnya berbagi tidur dengan perempuan asing itu. Dia merindukan wajah polos sosok cantik itu ketika fajar datang. Er merindukan dia yang menyiapkan segala sesuatu untuknya.

Sekali lagi Er menghela nafas. Dia sadar bahwa semua adalah hasil dan bentuk keegoisannya. Seharusnya dia memang tidak perlu melangkah karena akan berakhir demikian.

Hingga saat ini, Er tidak pernah sedetikpun melepas cincin yang melingkar di jarinya meskipun perpisahan itu telah berjalan dengan perlahan. Saat malam datang, dia akan duduk terdiam sembari memutar-mutar cincin yang disematkan oleh perempuan yang dia pilih untuk menemani hidupnya. Perempuan yang dia sakiti sebab keputusannya memilih.

Menyudahi pikirannya, Er bangkit. Dia harus membaca beberapa laporan dan memberikan feedback kepada anak buahnya. Namun, belum sampai Er mencapai meja kerjanya, suara ketukan pintu terdengar nyaring menyapa telinganya.

"Mas Er! Ada Mas Gilang!"

Suara budhe membuat Er terdiam sesaat.

"Gilang?" gumam Er.

"Mas Er!" panggil Budhe lagi. Belum sempat Er menjawab dan membuka pintu, pintu itu sudah lebih dulu dibuka dengan kasar. Membuat Er sedikit terkejut.

Brak!

"Apa ini?!" tanya Gilang sembari membanting sebundel berkas ke atas meja kerja Er. Laki-laki itu masuk ke kamar dengan tidak sabaran. Raut wajahnya merah menahan emosi dan itu membuat Er bingung.

"Kapan Lo balik?" tanya Er yang tidak mendapat jawaban dari Gilang.

"Nggak usah Lo tanya gue. Di sini gue yang butuh penjelasan dari Lo. Apa maksud Lo nglakuin ini semua?!" ujar Gilang dengan dada naik turun.

Er menghela nafas dan mendudukkan diri di tepi ranjang. "Gue nggak perlu jelasin lagi. Gue yakin Daniel yang kasih tau Lo sampai Lo terbang ke sini dan jelasin maksud gugatan itu."

SATU RUANG DOA (SELESAI)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang