34. Sepercik Api

6.5K 840 84
                                    

Seperti biasanya, ruang kerja tempat Gema fokus terhadap data-data yang harus dia analisis hening. Selama Bara belum kembali dari meeting, Gema bisa menikmati keheningan itu. Suasana hening adalah waktu yang tepat untuk memaksimalkan pekerjaannya. Otak Gema bisa berpikir dengan cepat.

Hari ini banyak sekali analisis yang harus Gema kerjakan dan dilaporkan. Ketika perempuan itu tengah fokus menatap data di layar laptopnya, layar ponselnya menyala. Perempuan itu menghembuskan nafasnya lelah saat ponselnya kembali bergetar.

"Assalamu'alaikum, Mas. Ada apa lagi?" tanya Gema dengan suara tidak semangat setelah menerima panggilan itu dan menempelkan ponsel di telinganya. Panggilan dari suaminya itu yang kelima kalinya selama di kantor. Tangan kanannya masih menggerakkan mouse dan matanya masih membaca data di layar laptopnya.

"Wa'alaikumusallam. Kok pertanyaannya gitu, Sayang?" respon Er di seberang sana.

Gema merotasikan matanya.

"Mas, Gema lagi kerja. Ini belum juga makan siang, tapi Mas udah telfon Gema sebanyak lima kali," keluh Gema sembari mengetik dengan sebelah tangannya. Bukan apa-apa. Gema merasa tidak nyaman sendiri.

Perempuan itu bisa mendengar helaan nafas di ujung talian. Terdapat jeda di sana. Keduanya diam.

"Mas ganggu Sayang?" tanya Er dengan suara pelan. Gema memijat pelipisnya. Punggungnya dia jatuhnya ke sandaran kursi. Mau menjawab menganggu, pasti melukai perasaan laki-laki itu. Mau menjawab tidak menganggu, artinya bohong. 

Sejak dua hari lalu, tepat saat Er harus kembali Jogja, Er terus menghubunginya. Dua hari itu Gema masih bisa memaklumi, tapi kenapa semakin dibiarkan semakin membuatnya tidak nyaman. Selain itu, telfon Er juga cukup mengganggu pekerjaannya. Laki-laki itu hanya menghilang saat harus meeting saja.

"Bukan gitu, Mas. Gema harus kerja. Ini laporan Gema buat meeting nanti setelah istirahat juga belum selesai." Gema melihat jam di sudut layar laptopnya. "Nanti Gema telfon Mas kalau udah pulang kerja ya?"

"Makan siang virtual?"

Iya, itu agenda yang Er minta. Makan Siang Virtual. Makan siang berdua melalui sambungan videocall. Setelah kejadian saat Er di Bandung waktu itu, keduanya melakukan itu. Kata Er, "Mas tuh kalau makan siang berdua sama Sayang, nafsu makannya bertambah."

"Hari ini nggak dulu ya, Mas." Gema memutar bangkunya agar menatap jendela. Matanya perlu melihat yang segar-segar, yaitu pepohonan yang menjulang terbingkai jendela.

"Kenapa?"

"Salah satu staf lantai atas ada yang ulang tahun, Mas. Jadi, lantai atas makan siang bersama."

"Kok nggak bilang?" tanya Er penuh selidik.

Gema meniup ujung khimar segiempatnya. Perempuan itu harus segera ke toilet untuk merapikan khimarnya yang sudah tidak nyaman di wajahnya. "Baru diinfoin tadi di Slack, Mas. Udah ya, Gema tutup. Gema harus selesaiin laporan dulu, Mas," mohon Gema dengan sedikit nada merengek.

"Iya udah. Nanti telfon Mas kalau udah sampai kosan. Jangan duduk samping laki-laki pas makan siang. Jangan ngobrol kalau nggak penting. Jangan ketawa lepas. Jangan --"

"Iya, Sayang. Assalamu'alaikum."

Gema menutup telfonnya dan melipat tangannya di atas meja kerjanya. Dahinya dia letakkan di sana dengan nafas yang dia hembuskan kasar. Ah kepalanya mendadak sakit. Baru hari ketiga, bagaimana dua bulan?

***

Er melempar ponselnya kesal. Laki-laki dengan celana chino warna krem dan kaos perusahaan warna hitam itu menyenderkan punggungnya dan menengadahkan kepalanya ke atas. "Dimatiin gitu aja!" ujar laki-laki itu sembari membenarkan letak kaca matanya.

SATU RUANG DOA (SELESAI)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang