25. Menepi

4.9K 775 80
                                    

"Maafkan Mas, Sayang. Mas gagal membahagiakan putri kita."

Suara parau seorang pria terdengar di tangah keheningan makam. Pria berkemeja lengan panjang yang sudah dilipat hingga siku itu memeluk sebuah nisan dengan kepala terbaring di atas makam. Pria itu sedang mengadu dan menyesali semua yang tengah terjadi.

"Putri kita kembali menangis, Sayang. Mas gagal menjadi ayah!" Ujarnya menahan amarah di dalam dada. Pria itu memeluk erat badan makam. Seakan memeluk istrinya yang telah terbaring di sana berpuluh tahun lamanya. Suara isakan terdengar memilukan. Dia hanya bisa menangis di sana. Menjadi pria biasa dengan perasaan yang dapat hancur tanpa ditahan. Hanya bersama istrinya dia bisa berbagi cerita.

"Mas kangen kamu, Sayang. Mas kangen Sarahnya Mas."

Pria itu adalah Elang. Pria gagah yang menangis di makam istrinya —Sarah. Setelah mengantarkan Gema, Elang langsung menuju ke makam. Dadanya bergemuruh ingin meledak. Dan pelukan Sarah adalah rumah terbaiknya.

Keadaan demikian, membuat Elang tidak berdaya. Pernikahan putri satu-satunya hancur karena seorang laki-laki bernama Er. Bayangan Gema bahagia, membangun keluarga, memiliki keturunan sekarang musnah begitu saja.

Elang menengakan tubuhnya. Matanya berair dan menatap nisan bernama Sarah Abidah.

"Kenapa Allah melimpahkan balasan Mas kepada putri kita? Kenapa karma dari kebejatan Mas harus turun kepadanya?" tanya lirih pria itu. Semua yang terjadi ini karena kesalahannya. Melihat Gema menangis, melihat Gema putus asa, melihat Gema disakiti Er membuka ingatan masa lalu pria itu.

Elang memukulkan dahinya ke atas badan makam Sarah berulang kali sembari menangis. Tangannya mencengkram rumput-rumput di sana. Dirinya telah menghancurkan putri ya sendiri.

"Mas harus bagaimana, Sar. Mas harus bagaimana?"

***

"Baik, Mas."

Suara perempuan itu terdengar biasa. Seakan semua tidak terjadi apa-apa. Tangan kanannya yang bebas menyuap biskuit Marie susu. Sementara tangan kirinya memegang ponsel yang menempel di telinganya. Sesekali bibirnya tersenyum mendengarkan cerita panjang lebar seseorang di seberang sana.

"Siapa namanya, Mas? Gema penasaran sama perempuan yang berhasil bikin Mas move on secepat ini," terang Gema sembari mencelupkan biskuitnya ke dalam cangkir.

"Ah, nanti aja Mas kasih taunya. Sekarang masih terlalu cepet," jawab seseorang di seberang sana.

Gema mengangguk. "Pastikan latar belakang, Mas. Jangan sampai salah lagi. Jangan terburu-buru, tenang. Pernikahan bulan main-main." Gema tersenyum miris dengan apa yang baru saja dia katakan. Mengingat pernikahannya sudah hancur begitu saja tidak tersisa.

"Tentu. Mas akan cari tau dulu. Btw, Er gimana kabarnya? Sorry nih, Mas belum sempat pulang ke Yogya mampir ke rumah kalian."

Gema menghela nafas panjang. Tangannya memindahkan ponsel ke telinga yang lainnya. Matanya menatap cangkir berisi es dan teh jeruk. Sarapan yang tidak lazim memang, tapi Gema suka.

"Doakan selalu baik dan sehat, Mas." Hanya itu jawaban yang Gema berikan. Karena dirinya tidak tau bagaimana kabar dari laki-laki itu meskipun sudah satu minggu setelah kepergiannya ke Bandung. Gema tidak mengganti nomornya, tidak pula mengeblok nomor laki-laki itu. Namun, dia tidak berusaha mencari tahu. Dia biarkan hidupnya berjalan begitu saja. Nanti, akan ada saatnya dia bangkit dan menata kembali semua yang porak poranda.
Bagaimana keadaan keluarganya? Elang sudah datang mengunjunginya sebanyak empat kali sejak hari pertama mengantarkan putrinya pindah. Sementara, Tala dan Xe tidak mengetahui keadaan sebenarnya. Kedua laki-laki itu menghubungi Gema seperti biasa. Sebenarnya cukup mudah berlari dari Tala dan Xe untuk saat ini karena Xe memang tidak pernah datang ke rumah Er setelah Gema menikah. Dia cukup tau diri bahwa saudara perempuannya memiliki kehidupan baru. Tala pun demikian, lagi pula dia sedang disibukan dengan bisnisnya dan seseorang yang mencuri perhatiannya.

SATU RUANG DOA (SELESAI)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang