4. Memaafkan?

7.3K 847 48
                                    


Gema memandangi jalanan yang cukup ramah di balik jendela yang Talla kendarai. Laki-laki itu seperti biasa banyak berbicara mengenai apa saja yang dia lakukan selama tiga bulan ini.

"Emang libur berapa hari, Mas?" Tanya Gema sembari menoleh ke arahnya ketika laki-laki itu selesai bercerita. Dengan senyum khasnya laki-laki itu menoleh sekilas ke arah Gema sebelum kembali menatap jalanan. "Hanya dua hari."

Gema mengangguk sekali. "Berarti nginep dong?" Tanyanya lagi. Dan laki-laki itu kembali mengangguk.

Talla mengurangi kecepatan mobilnya ketika benda beroda empat itu memasuki kawasan pemakaman. Nisan-nisan sudah terlihat berjejer rapi seakan memberi peringatan bahwa setiap orang hanya menunggu giliran. Tanah yang tertutup rumput atau keramik menjadi bukti bahwa tak ada yang dibawa kecuali amal. Gema menghela nafas pelan sembari tersenyum, sudah hampir dua Minggu dia tidak mengunjungi seseorang di sana.

"Mba Gem pulang ke rumah ya? Masa aku di sini tetep Mba di kosan." Suara Talla kembali terdengar ketika mobil yang mereka tumpangi telah terpakir di pinggir jalan. Laki-laki itu melepas sabuk pengamannya dan meraih ponsel di atas dasboard. Sedangkan Gema meraih tas dan bersiap turun. "Besok Gema kerja, Mas. Jauh ah kalau dari rumah," ujarnya jujur di antara alasan yang lain.

Gema melangkah menyusuri hamparan makam yang terlihat tenang. Sedangkan Talla segera menyusul dan menjajari gadis itu.

"Jauh atau karena Ayah?"

Gema menghentikan langkahnya dan mendongak ke arah samping tempat Talla menjulang. Laki-laki itu tengah menatapnya dengan sebelah alis menukik sempurna.

Keduanya hanya bersitatap tanpa mengatakan apapun, kedua pasang mata yang memiliki garis yang sama itu seakan bertukar rasa.

"Jengukin Bunda dulu." Talla mengakhir kediaman itu dengan meraih pergelangan tangan Gema dan membawanya melangkah. Tanpa ada perlawanan, Gema berjalan satu langkah di belakang Talla yang masih memegang tangannya.

"Assalamu'alaikum, Nda." Talla melepas tangan Gema ketika langkahnya telah sampai di samping makam dengan berselimut rumput itu. Laki-laki itu berjongkok sembari mengusap nisan berwarna hitam dengan goresan warna emas.

"Maaf ya, Nda. Mas lama nggak ke sini..." Lirih laki-laki itu seakan Bundanya terbarung di sana. Tangannya mengusap nisan seakan kepala Ibu keduanya.

"Mba juga di sini, Bun. Di culik tuh sama Mas Talla dari kantor," ujar Gema menjongkokkan diri di samping Talla yang mencibikkan bibirnya. Sedangkan Gema memeletkan lidahnya sengaja mengadu pada Bunda.

Gadis itu mencabuti rumput yang terlihat tinggi di antara yang lain. Sedangkan Talla sedang bercerita, seakan Bunda benar-benar di hadapannya.

Dua puluh tahun tidak lagi menyisakan rasa sedih bagi Gema ketika harus berjalan dan menatap makam wanita yang di kakinya terletak surga. Meskipun, belum genap lima tahun dia merasakan sosok Ibu di sampingnya. Tak ada sosok ibu yang menjelaskan mengenai hal hal yang berkaitan dengan perempuan. Tak ada yang menjawab kebingungannya ketika mendapatkan haid pertama, tak ada sosok Ibu yang membangunkan atau mengomel di rumahnya. Semua dilakukan hanya dengan kata Bunda tanpa sosok nyata.

"Seandainya aja Nda masih --"

"Jangan mengandai, Mas. Qadarullah," sahut Gema. Gadis itu menyentuh nisan Sarah dengan senyum dan pandangan ketenangan.

"Bunda orang baik, Allah ambil Bunda agar Bunda terhindar dari caruk maruknya dunia ini." Gema menjeda dan menoleh ke arah Talla. "Ketika kita masih berpeluang dosa, Bunda dah aman di sana."

Talla tersenyum dan mengusap puncak kepala Gema dengan gemas. "Betul! Kita doa habis itu cari makan, ya?" Tanya Talla yang diangguki oleh Gema.

Sepasang saudara itu khusyuk menengadahkan tangan dipimpin doa lirih dari Talla. Berharap bahwa doanya dapat sampai kepada Bunda. Setelah selesai, keduanya pamit dan Talla lekas menjejak gas menuju salah satu kafe tak jauh dari sana. Sudah Gema tebak, Talla sengaja memilih Kafe yang pemiliknya sudah dihafal luar kepala. Bahkan, setiap sudut kafe itu sudah detail tergambar di kepala Gema. Kafe siapa lagi jika bukan Kafe ayahnya. Artinya, peluang untuk bertemu Ayah cukup besar di sana.

SATU RUANG DOA (SELESAI)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang