1. Waktu

9.8K 940 47
                                    

16.00 adalah waktu yang sudah Gema nanti sejak tadi pagi. Waktu di mana dia akan bisa segera membersihkan diri juga pikirannya yang sesak dan berisik. Perempuan itu segera membereskan laptop, ponsel, note, dan perlengkapan lain yang memang biasa dia bawa pulang pergi.
Di sela kegiatannya menata kubikelnya, Gema sesekali menjawab kawan satu ruangannya yang sudah beransur meninggalkan ruangan akademik. Hanya ada empat orang dan meja Gema tepat di samping pintu masuk. Membelakangi pintu dan menghadap jendela besar yang menampilkan pemandangan dari lantai dua. Pemandandangan sawah yang masih asri.

Selesai menata atas meja dan memastikan tidak ada yang tertinggal, perempuan yang hari ini memakai jilbab polos hitam dengan khimar berwarna maroon itu keluar dan menyusuri lorong pendek sebelum turun menuruni tangga menuju lantai satu tempat biasa menerima tamu atau menghabiskan waktu istirahat.

"Eh, Gema. Baru pulang?" suara seseorang menghentikan langkah Gema yang sudah menuju parkiran. Perempuan itu menoleh dan memberi senyum tipis sebelum menjawab.

"Iya, Kak. Kak Esan dari mana?" tanya Gema basa basi ketika melihat laki-laki itu sepertinya baru kembali dari luar. Laki-laki dengan jeans dan kemeja kotak-kotak dengan lengan yang digulung ke siku itu menyugar rambutnya sembari menjawab, "Biasa."

Gema hanya mengangguk saja, padahal dia tidak paham definisi biasa yang laki-laki itu maksud. Tidak ingin bertambah lama di sana, Gema memutuskan izin pulang kepada laki-laki yang tidak lain adalah CMO atau Chief Marketing Officer.

Tidak terasa sudah hampir tujuh bulan Gema menjalani rutinitasnya sebagai seorang pekerja kantoran. Bukan kantor yang besar, tapi sebuah startup ed-tech di Yogyakarta yang sedang digandrungi oleh para pelajar. Namanya sedang di atas awan, sayapnya sudah melebar, dan itu membuat Gema sering sekali memijat pelipisnya. Semakin tinggi pohon maka semakin besar angin yang menerpa.

Bersyukurnya, perempuan itu bisa menikmati udara sejuk pagi dan sore hari seperti ini. Setidaknya mengurangi berserakannya isi kepalanya. Meskipun, jika musim panas nanti datang sudah dipastikan kulitnya akan tersentuh panasnya cahaya matahari yang masih tersenyum lebar hingga petang.

Sembari menyenandungkan dzikir petang, Gema mengayuh sepedanya menyusuri jalan. Sesekali tangannya membunyikan bel ketika hendak menyalip dan kakinya turun sebelah untuk menahan ketika harus berhenti di lampu merah.

Perempuan itu sama sekali tidak terlihat kesulitan meskipun memakai jilbab dan khimar lebar.

Tiga puluh lima menit waktu yang Gema butuhkan untuk sampai di depan rumah kosnya. Perempuan itu memarkirkan sepedanya di tempat yang sudah Ibu kosnya siapkan. Kosan yang Gema pilih memang khusus akhwat dengan penjagaan dan aturan ketat. Hampir 99% penyewa kamar kos adalah mahasiswa salah satu kampus yang memang berada di sekitar sana. Dan sudah pasti 1% dari 100% itu adalah Gema Ti Aksata yang tidak lagi berstatus sebagai mahasiswa.

"Mba Gema! Lama banget sih, ish!"

Gema yang baru saja melangkah memasuki teras kamarnya terkejut sekaligus kesal ketika telinganya mendengar suara yang sama sekali tidak asing. Bayangannya segera mandi dan berbaring sebentar menguap begitu saja ketika satu sosok sudah duduk setengah berbaring di kursi depan kamarnya dengan kaki menjulur bersandar di tembok setinggi setengah badan tempat biasanya penghuni kos meletakan helm atau pot bunga.

"Udah lama?" tanya Gema setelah punggung tangannya di cium laki-laki yang sudah berdiri dan menjajarinya yang sedang melepas flatshose itu.

"Udah, dari tadi ashar tau. Tuh udah hampir dua jam, Mba!" jawabnya sembari menunjuk jam yang melingkari lengan bersihnya. Gema membuka pintu dan melangkah. Tangannya memencet saklar hingga kamar yang awalnya gelap berubah jadi terang. "Lha salah sendiri nggak masuk."

SATU RUANG DOA (SELESAI)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang