21. Harus Bagaimana?

8.5K 841 200
                                    

"Gema pergi."

Laki-laki yang hendak menyesap kopinya urung melanjutkan. Tangannya kembali meletakkan cangkir ke atas meja. Matanya menatap seseorang yang baru saja datang dan mendudukan diri di seberang meja yang menghalangi keduanya.

"Memang seharusnya kita jujur dari awal."

Laki-laki yang tak lain adalah Er itu menghela nafas berat dan menatap kosong meja di depannya. Membenarkan kalimat yang keluar dari seseorang yang duduk di seberangnya. Memang seharusnya tidak demikian. Namun, semua telah terlanjur berjalan. Semua terlanjur terjadi. Er tak dapat berpikir saat itu karena pikirannya kalah oleh perasaan. Perasaannya mendominasi hingga semua tidak pada tempatnya.

Kini, laki-laki itu mengemudikan mobilnya perlahan. Menatap kosong jalanan yang lengang. Mungkin memang, melepaskan Gema adalah cara terbaik menghentikan luka tak kasat mata di jiwa perempuan itu. Perempuan yang dia pilih karena keegoisannya.

***

Seorang perempuan menatap potret sederhana di layar ponselnya. Senyum milik laki-laki itu masih membekas di hatinya. Senyum yang setelah hari-hari pernikahan menjadi candu baginya. Gema tidak menyangka bisa menikah dengan seseorang bernama Er Rafee. Laki-laki yang tak lain adalah atasannya. Laki-laki yang pantang menyerah hingga membuat dirinya mengatakan iya atas penawarannya. Gema tidak pernah berpikir ataupun berencana untuk jatuh cinta kepada laki-laki itu. Gema hanya berusaha melakukan kewajibannya sebagai seorang istri kepada suami. Namun, siapa sangka jatuh cinta kepada Er semudah itu. Dan terluka karena Er ternyata jauh lebih mudah.

Gema mengusap sudut matanya. Apa yang laki-laki itu ungkap kemarin masih membayangi pikirannya. Benarkah dia menikah laki-laki semacam itu?

Apakah dia telah salah memilih?

Gema menarik nafasnya berat. Mematikan ponselnya dan menatap hamparan kebun teh di depannya. Menerawang jauh daun-daun teh yanh tertutup kabut. Langit gelap berwarna abu-abu.

Perempuan itu mengeratkan jaket milik Nata yang dia kenakan. Memeluk tubuhnya sendiri. Pagi ini, semua tak begitu jelas adanya. Seperti dirinya yang seakan kembali kehilangan cahaya.

"Gem."

Gema menoleh dan mendapati Nata berdiri di belakangnya. Perempuan itu mendudukkan diri dan menatap lurus ke depan. Gema pun melakukan hal yang sama. Nata adalah sahabat Gema sejak kecil, sejak Nata masih tumbuh di Yogya. Dulu, Nata tinggal di sebelah rumahnya. Bahkan, Bundanya--Sarah-- juga sangat dekat dengan Umminya Nata yang beberapa bulan lalu telah menghadap sang Khalik. Jika Gema masih memiliki Ayah, Nata hanya memiliki Kakak karena Abinya lebih dulu pergi. Gema dan Nata harus terpisah ketika Ummi Nata memutuskan untuk tingga di rumah orangtuanya ketika mereka duduk di bangku sekolah menengah pertama. Sejak saat itu, Gema sering pergi ke sana dengan diantar Ayah ataupun Tala.

"Kamu cinta kan, Gem ke Mas Er?" tanya Nata sembari menoleh ke arah Gema setelah beberapa saat terdiam.

Gema menunduk dan mengangguk.

"Terima keadaannya, Gem." Nata menjeda dan kembali menghadap ke depan. "Kembalikan dia kepada fitrahnya. Jauhkan dia dari Mas Gilang." Nata menggenggam tangan sahabatnya yang bergetar. "Kamu berhak atas Mas Er. Kamu istrinya."

Mendapati kenyataan dan pengakuan dari mulut suaminya secara gamblang membuat Gema tidak siap menerima apa yang dia dengar.

"Mas....gay."

Dua kata itu terus berputar di kepala Gema sampai hari ini. Pengakuan yang menyakiti perasaannya. Bisakah dirinya menerima Er, menyembuhkannya?

"Gem, bantu suamimu kembali ke fitrahnya."

Gema mengangkat wajahnya. "Tapi, Nat..." Nata menggeleng. "Banyak sekali orang yang sembuh dari hal itu karena support keluarga, Gem. Dan akan lebih besar ketika kamu sebagai istrinya membantu dia kembali."

Nata menghapus air mata yang membasahi pipi sahabatnya. Menatap sepasang mata yang telah redup itu. "Gem, berikhtiar dulu."

Gema menghela nafas berat.

Sudah hampir lima hari Gema hanya diam di sekitaran rumah Nata. Perempuan itu menghabiskan waktu melangkah di jalan setapak perkebunan teh atau mengayuh sepeda milik Nata membelah pohon-pohon teh selama Nata mengajar di sekolah dasar yang tidak jauh dari rumah. Perempuan itu menghilang begitu saja. Meninggalkan rumah dan meninggalkan pekerjaannya. Meskipun ini tidak baik, tapi Gema cukup sadar bahwa keadaan kantor tidak cukup sibuk dan Er pasti dapat memberi solusi kekosongan di posisi yang dia tinggalkan.

Gema menghentikan langkahnya. Menghela nafas yang kian memberat. Matanya menatap ujung jalan, tempat seseorang berlari ke arahnya dengan tergera. Dua sisi hamparan kebun teh membingkai sosoknya.

"Kenapa nggak bisa dihubungi berhari-hari?" itu pertanyaan yang terlontar bersamaan nafas terengah ketika sosok itu sampai di hadapan Gema. Peluh dengan dada yang naik turun cukup memberi tahu seberapa jauh dan kencang dia berlari.

"Ponselnya mati, Mas."

"Di sini nggak ada listri?" sarkasnya.

Gema membawa tubuhnya menghadap ke hamparan pohon-pohon teh yang sudah menggundul sebab pagi tadi telah dipetik. "Gema nggak bawa charger."

"Nata nggak punya ponsel?"

Gema menghela nafas. "Gema cuma ingin sendiri, Mas. Beberapa hari saja," aku Gema akhirnya. Sebenarnya, dia tidak terkejut ketika Tala tiba-tiba ada di sana. Hal yang sangat mudah menebak ke mana dirinya pergi, terlebih dengan ponsel yang sengaja dimatikan.

Dengan sekali tarik, tubuh Gema sudah masuk ke dalam pelukan laki-laki itu. Dan saat itu pula, suara isakan kembali terdengar.

Hanya dua alasan kakak perempuannya itu jauh datang ke sana. Yaitu karena rindu Nata atau terjadi sesuatu yang membuatnya harus menepi sejenak. Dan alasan kedua adalah yang paling tepat melihat seberapa lamanya perempuan itu tidak dapat dihubungi. Terlebih jika semua baik-baik saja, tentu Gema akan pamit dan minta tolong diantar. Ponsel pun aktif karena tidak memiliki alasan untuk dinonaktifkan.

"Ada masalah sama Er?" tanya Tala sembari mengusap punggung saudaranya itu. Namun, Gema menggeleng. Perempuan itu tidak bersuara, kecuali isakannya.

"Lalu?"

Gema menggeleng lagi dan menjarakkan tubuhnya. Tala mengusap kedua mata Gema yang basah. "Cerita sama Mas, Mba."

Gema menatap Tala dengan hidung merahnya. "Gema hanya capek kerja, bosen di kubikel terus," bohong Gema.

"Kenapa harus dimatiin ponselnya?"

"Biar khusyuk kaburnya."

Tala tersenyum. Laki-laki itu membuka jaketnya dan memakaikan kepada Gema. Kemudian, Tala menarik dan menggenggam tangan Gema dan diajaknya berjalan.

"Ayah khawatir, Xe juga."

"Maaf..." ujar Gema lirih.

"Lain kali jangan."

Gema mengangguk.

Gema melipat dahinya saat Tala menghentikan langkahnya. Mata laki-laki itu menatap Gema dan Gema mendongak.

"Meskipun Mba udah tanggung jawab Er, tapi Mba masih Mbanya Mas, Mbanya Xe, dan putri satu-satunya Ayah. Jadi, kabari juga kami. Jangan hanya Er saja."

Mungkin, Tala pikir dia pamit kepada Er dan keduanya baik-baik saja. Mungkin, Tala telah salah paham kepadanya. Dan ternyata, Er tidak mencarinya dan tidak panik akan kepergiannya.

Lalu, "Apa yang kamu lakukan selama lima hari ini, Mas?" batin Gema.

Bersambung...
Dikit banget nget nget ini ya, jadi MAAF😞

SATU RUANG DOA (SELESAI)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang