Part 21: Pecah

148 17 0
                                    

   Sukabumi, Jum'at 14 Maret 2008
   Leweng Patilasan

   Siang itu suara-suara tonggeret terdengar nyaring. Kembali menambah kesan suasana hutan yang sedikit sekali orang menjamahnya, atau bahkan tidak pernah sama sekali terjamah. Kaki demi kaki melangkah pelan menyeret ranting-ranting yang telah gugur di bawah sana.

   Bruuuk!

   Hasbi menjatuhkan dirinya tepat bersandar pada sebuah pohon, membuat Jarsip sedikit terkejut meliriknya.

   Hasbi membuka satu botol air minum.

   “Kau membawa air?” kata Jarsip.

   “Air sungai. Aku mengisi semua botol-botol kosong kita.”

   Jarsip mengernyit. “Apa itu air masak?”

   Hasbi terkekeh. “Aku tidak peduli. Airnya cukup jernih.”

   Tap!

   Jarsip mengambil botol itu dari tangan Hasbi, dan mulai meminumnya.

   Hasbi memperhatikan pistol milik Rizal yang kini ia pegang. Ia mengarahkannya ke satu pohon lain di hadapannya. Tentu ada banyak sekali pohon-pohon tua besar yang berdiri di hutan lebat seperti itu. Jarsip memperhatikan tingkah Hasbi kini.

   Daarrr!

   Jarsip mengedipkan matanya (terkejut).

   “Apa yang kau lakukan!?” sergah Jarsip.

   “Aku hanya mencobanya saja.”

   “Kau gila! Bagaimana jika itu adalah amunisi terakhir yang seharusnya kau gunakan untuk melumpuhkan hewan liar buruan kita.”

   “Sejauh kaki kita melangkah, kita belum sama sekali bertemu hewan hutan.”

   “Aaaaah ... kau ini.” Jarsip mengeluh.

****

   Hari ke empat sudah mereka lalui di hutan. Tiga malam sudah mereka taklukan dengan bersusah payah untuk bisa bertahan. Lelah sudah dapat dipastikan, dan mental yang perlahan pudar pasti akan membuat ketahanan mereka menjadi kurang bagus. Terlebih untuk para perempuan dari kelompok Napak Tilas Sam.

   “Kalian dengar itu?” ucap Fely.

   “Suaranya cukup keras,” timpal Maya.

   “Menggema dari sini. Mereka pasti mendapat buruan hewan,” lanjut Vera.

   Desi tersenyum tipis di sana.

   “Aku tidak peduli dengan daging mentah sekalipun. Aku rasa, aku akan melahapnya habis nanti,” kata Maya antusias.

   “Ucapanmu membuat perutku semakin lapar rasanya,” timpal Fely.

   “Haha. Kau yakin, May? Nanti perutmu mual,” sahut Vera.

   “Serius. Aku rasa aku sudah sangat lapar. Bahkan, aku rasa sepertinya aku ingin memakan apapun.”

   “Mungkin aku juga akan kau makan. Haha dasar.” Fely tertawa.

   “Apa boleh?” ucap Maya.

   Fely berhenti tertawa, ia melirik Maya. Yang di lirik memusatkan matanya pada Fely.

   Vera mulai memperhatikan keduanya.

Napak TilasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang