Sukabumi, 13 Maret 2008 22:40
Leweung PatilasanSam terduduk memangku lutut tanpa ada sesuatu yang ia tatap. Ujung matanya mengarah pada api unggun yang menyala tidak terlalu besar. Tapi kosong. Tidak ada yang ia lihat sebenarnya.
Di belakangnya, ke lima temannya tertidur cukup lelap. Tanpa alas apapun, mereka hanya memakai sleeping bag yang menutupi rapat seluruh badan mereka, kecuali bagian kepala.
Suara jangkrik terdengar nyaring menambah kesan hutan yang sunyi di malam itu. Pribahasa untuk semua orang yang melakukan kemah di hutan membuat Sam benar-benar merasa cemas. Harus ada satu dalam tim kemah yang terjaga. Mitosnya, hanya agar tidak di pisahkan oleh jin penghuni hutan. Konon, jika semua terlelap tidur, semua akan terpisah tempat satu per satu. Terlelap di tempat yang sama, membuka mata di tempat yang berbeda-beda. Mengerikan.
Sam mengernyit tiba-tiba. Raut wajahnya berubah, seperti terlihat panik. Matanya mendelik sedikit.
“Sial!” desisnya.
Sam bangkit.
Creeekk!!
Ia menyalakan lampu senternya. Kemudian tergesa berlalu ke tepian jalur yang seperti bekas aliran sungai itu—tempat mereka berkemah di malam ke tiga.
Mendengar gerusukan. Rizal yang sudah terlelap tadi, terbangun demi mendengar itu. Ia menatap Sam berjalan tergesa.
“Sam!” panggil Rizal.
Sam menoleh. “Aku mau kencing.”
Karena suara Rizal memanggil Sam. Ke empat perempuan ikut terbangun.
“Ah sial! Kenapa harus pergi jauh jika hanya ingin buang air,” ketus Rizal.
Rizal kemudian bangkit. Menyibak sleeping bag-nya.
“Kau mau kemana?” tanya Desi di sampingnya.
“Sam pergi buang air. Aku akan berjaga di dekat api. Kalian lanjutkan tidur saja,” sahut Rizal.
Desi mengangguk kecil. Yang lain melanjutkan tidurnya.
Suara jangkrik yang terus mendenging tetap terdengar di dalam hutan. Tidak jauh, Sam hanya mencari sedikit semak untuknya buang air kecil. Senternya ia selipkan di ketiak.
“Punten, Bah, Mi, ngiring pipis,” (permisi, Mbah, Mi, numpang pipis) ucapnya.
Sreett
Terdengar cukup jelas, sesuatu menyeret semak di dekat Sam.
Sam menoleh pada sumber suara. Tidak ada apa-apa.
Sam melirik kiri dan kanan. Menyapu pandang tempat di depannya yang tersoroti cahaya lampu senter. Mengerikan. Sungguh gelap. Pohon besar, semak, dan segala jenis tumbuhan ada di sana.
Tiba-tiba matanya memicing. Mengamati sesuatu di balik pohon. Bentuknya seperti kain. Berwarna merah.
Ia terkejut menyadari bahwa itu adalah kain dari celana yang di pakai seseorang. Namun sangat panjang. Tinggi sekali. Matanya mendelik. Mengamati perlahan ke atas. Sosok makhluk tinggi berdiri disana. Badannya tidak terlihat. Tertutup rimbunnya daun pohon yang banyak berdiri disana.
“Astaghfirullah...” ucap Sam pelan. Ia berpaling dan menutup matanya. Ia tergesa menyelesaikan aksinya.
Lampu senternya kembali ia pegang. Sam berbalik. Lampu senternya di arahkan ke bawah hanya untuk menyoroti jalan saja. Ia tidak berani mengarahkannya ke depan. Takut-takut sesuatu lain muncul di depannya. Keringat mulai mengalir tipis di pelipisnya. Ia berjalan kembali ke arah perkemahan. Tergesa, cukup cepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Napak Tilas
HorrorNapak Tilas: sisi mistis tanah sunda Ada satu cerita tentang sebuah perjalanan yang dilakukan oleh delapan muda-mudi dari Ibu Kota Jakarta, menuju sebuah desa Wangunreja, di Kabupaten Sukabumi. Mereka beranggotakan 4 laki-laki, dan 4 perempuan. Ini...