“Abah bener-bener geus nte bisa nempo, jang Samsu,” (Kakek sudah benar-benar tidak bisa melihat, nak Samsu) bah Ja'i mengaduh, langkahnya berhenti, sesekali matanya ditutup kuat—memastikan bahwa energi penglihatan ghaibnya hanya error.
Sam ikut berhenti melangkah, memapah Rizal yang kembali pincang. Bahu Rizal masih dibungkus dedaunan berwarna coklat. Tapi bersyukurlah, Rizal sudah bisa sadar.
Turut dengan Jarsip yang dipapah oleh Hasbi di sisi satunya. Energi Jarsip masih sedikit kurang baik, matanya terpejam, lemas, tapi ia sanggup berjalan dipapah Hasbi.
Hasbi saling pandang dengan Sam.
“Bah, urang uih bae,” (Kita pulang saja) sergah Sam.
Bah Ja'i menoleh. Pelan-pelan membuka matanya, menetralkan energinya.
“Ayena Abah rek nanya ka baturan ujang,” (Sekarang aku mau tanya pada temanmu)
Bah Ja'i menatap Rizal.
Sam melirik temannya pelan-pelan. Lalu Rizal, dan Sam saling pandang, sebelum akhirnya Sam mengangguk. Sam menurunkan Rizal, membantunya untuk duduk. Hasbi meniru aksi Sam, membantu mendudukan Jarsip di sana.Pada akhirnya semua duduk tanpa alas apapun. Hanya semak-semak, atau rerumputan liar pendek yang sudah terinjak-injak kotor, dan basah setelah hujan reda.
“Naon anu ujang tingali na liang gogoda kamari?” tanya Bah Ja'i.
Rizal mengangkat kedua alis. Lalu melirik pada Sam di sampingnya.
Sam tidak berpaling menatap Bah Ja'i. Sebelum akhirnya menoleh pada Rizal pelan-pelan.
“Apa yang kau lihat di lubang ...” Sam menjeda kalimatnya, berpikir sejenak. Lalu kembali melirik pada Bah Ja'i. “Liang naon, Bah?” (lubang apa, kek)
Bah Ja'i melirik pada Sam. “Liang gogoda.”
“Saur Mak Anik, utusan Nyi Siah, putrana di pupusken ku baturan jang Samsu nyaeta anjeuna iyeu,” (kata Mak Anik, utusan Nyai Siah, putranya di bunuh oleh temanmu, yang tidak lain adalah dia) lanjut Bah Ja'i dengan kalimat akhir sembari menunjuk dada Rizal.
Sam mengernyit, berpaling pada Rizal. Rizal mengerutkan dahi, menatap Sam—alih-alih bertanya kenapa.
Sam semakin bingung menatap Rizal.
“Zal, kau menemukan sesuatu kah saat terjatuh di lubang waktu itu?” tanya Sam.
Rizal memicing, keningnya tidak ubah berkerut. “Ular?” sergahnya kemudian.
“Ular?” ulang Sam.
Rizal mengernyit. “Iya, lalu apa?”
“Kau melihat ada ular?”
“Bukannya kau juga melihat itu. Kau membantuku.”
“Aku tidak melihat apapun.”
Rizal kembali mengernyit.
“Tidak ada apa-apa di sana,” sergah Sam.
“Kumaha jang?” sela Bah Ja'i.
Sam menoleh, masih dengan raut wajah yang bingung.
“Abah teh nte ngartos bahasa orang luar sapertos kitu, jang. Maklum ari jelema hidep di leweng etangna wargi Cimargaherang mah. Sesah.” (aku tidak mengerti bahasamu. Maklum untuk manusia yang hidup di hutan seperti warga Cimargaherang sepertiku ini. Susah)
“Ceuk manehna ukur ningali aya orai. Tapi basa harita jeung urang na liang eta, Bah. Urang nte ningali nanaon, eweuh orai.” (dia bilang melihat ular. Tapi waktu itu dia bersamaku di lubang itu. Dan aku sendiri tidak melihat ular, Kek)
KAMU SEDANG MEMBACA
Napak Tilas
TerrorNapak Tilas: sisi mistis tanah sunda Ada satu cerita tentang sebuah perjalanan yang dilakukan oleh delapan muda-mudi dari Ibu Kota Jakarta, menuju sebuah desa Wangunreja, di Kabupaten Sukabumi. Mereka beranggotakan 4 laki-laki, dan 4 perempuan. Ini...