Sukabumi, Rabu 12 Maret 2008
Kubang Bagong
Bukit perkemahan yang ditumbuhi banyak pohon besar. Posisi datarannya yang landai membuat para penjelajah hutan memilih berkemah di kubang bagong jika kemalaman. Sekilas memang terlihat seperti kebun pohon karet yang sengaja didesain untuk setiap pohonnya tumbuh secara berjajar rapi. Hanya saja, di kubang bagong, susunan pohon itu tumbuh secara acak.Vera berjongkok menghadap api unggun. Mencoba menghangatkan badannya yang tengah kedinginan. Api unggun menyala cukup besar. Angin malam tak mampu memadamkannya malam ini.
Perempuan si alis tebal itu memakai kemeja belang hitam putih kotak-kotak. Terang saja dia kedinginan. Hanya menambah kesan bergaya di alam bebas, ia rela melepas jaket kuningnya yang selama perjalanan tadi ia pakai.
Ia mulai berdiri. Memperhatikan semua temannya yang sedang riang menyantap mie instant. Ada yang kurang diantara mereka. Maya. Kemana dia?
Vera beralih. Ia berjalan menuju tenda wanita.
“Mana Maya?” tanya Vera pada semua temannya.
Mereka bergeming. Tetap asik bercanda tawa dan fokus menyantap makanan mereka.
Vera membuka tirai pintu tenda wanita. Hanya ada beberapa tas dan lampu centir yang menyala di dalamnya. Tidak ada Maya disana.
Ia berbalik. Memicingkan matanya ke belakang tenda para lelaki-memastikan apakah Maya kembali ke pohon besar tadi?
“Maya!” desisnya.
Maya kembali duduk di bawah pohon besar tepat beberapa meter di belakang tenda lelaki. Posisinya sudah keluar batas area kemah. Lokasi yang di larang Sam-hanya karena ia tidak mau repot atas peristiwa yang akan terjadi atas tanggung jawab yang telah ia pegang.
Vera mengambil lampu senternya. Mencoba mengarahkan cahaya senter itu ke balik tenda lelaki. Hanya memastikan bahwa yang terlihat samar olehnya adalah Maya yang benar-benar kembali ke tempat itu.
“Astaga, kenapa anak itu kembali kesana,” bisiknya ngomel sendiri.
Vera berjalan menghampiri Maya.
“May, kau ngapain kembali kesini? Kau paham kan apa yang Sam bilang tadi?” ucap Vera yang berjalan mendekati Maya.
Maya bergeming. Secangkir kopi kembali ada didalam kepalan Maya.
Tap!
Vera menepuk bahu Maya. “May!”
Maya memutar kepalanya perlahan. Ia menyeringai.
“Maraneh indit ayeuna!” (Kamu semua pergi sekarang) ucap Maya berbisik. Bibirnya menyeringai benci.
“May, kau kenapa?” kata Vera. Nada suaranya bergetar takut. Melihat peringai Maya yang tidak pada biasanya.
“INDIT!” (Pergi) sentak Maya. Matanya memutih. Ia berdiri.
Vera mundur. Gelagatnya masih memperhatikan Maya. Bingung antara harus pergi, atau menarik Maya dari tempat itu. Antara harus percaya pada pikirannya bahwa Maya kerasukan, atau tetap di tempat untuk memastikan hal tersebut.
Maya maju perlahan mendekati Vera yang tengah mundur. Kedua tangannya mengepal. Secangkir kopi yang di pegangnya tadi terjatuh.
“Ka—kau bukan Maya,” ucap Vera terbata.
“Hahaha,” Maya mengeluarkan tawa menakutkan. Kini suaranya bukan lagi Maya. Tapi seperti suara nenek-nenek. “Arek naon maraneh kadieu?” (Mau apa kalian kesini)
KAMU SEDANG MEMBACA
Napak Tilas
HorrorNapak Tilas: sisi mistis tanah sunda Ada satu cerita tentang sebuah perjalanan yang dilakukan oleh delapan muda-mudi dari Ibu Kota Jakarta, menuju sebuah desa Wangunreja, di Kabupaten Sukabumi. Mereka beranggotakan 4 laki-laki, dan 4 perempuan. Ini...