Part 38: Janji Sebelum Pagi

91 9 4
                                    

    Malam itu cukup pelik untuk semua orang. Lengang saling bertatapan begitu Teguh, juga Petet telah sampai ke seberang. Hanya Sam yang masih menatap kosong, juga Vera yang tidak berhenti menangis. Teriakan-teriakannya sudah berhenti. Vera sudah tampak tenang, tetapi masih membaringkan badan.

Bah Ja'i memperhatikan semuanya. Tim pemburu liar yang saat itu bersama Sam tinggal tersisa Teguh, Petet, Rosi, dan Rani. Mereka sudah tampak tenang—menatap Bah Ja'i hambar.

    Bah Ja'i memutar badan, memperhatikan Sam. Tangisnya sudah berhenti, tersisa lamunan-lamunannya yang belum selesai. Bah Ja'i paham, itu sangat berat untuk Sam.

    Pelan Bah Ja'i menghampiri Sam.

    Tap!

    Bah Ja'i menepuk pundak Sam. Sepenuhnya Sam sadar, menoleh pelan-pelan.

    Bah Ja'i menganggukan kepala satu kali—mengingatkan Sam bahwa mereka sudah harus jalan kembali.

    Rosita membantu mengikat paha kiri Rani menggunakan kain hitam. Saat itu, luka di paha kiri Rani menganga tanpa ditutup apapun. Juga celana pendek yang Rani pakai, satunya harus dilipat sampai atas.

Rani bangkit saat itu. Dibantu Rosita untuk berdiri, mereka sudah siap mengikuti arahan dari Bah Ja'i selanjutnya. Mereka siap untuk melangkah lagi.

    Beberapa menit sudah mereka lewati di tempat itu. Pelan-pelan tangisan Vera pun mulai mengecil. Rosita menghampirinya di sana.

    Breg ...

    Rosita berjongkok di samping Vera. Vera meliriknya sedikit, tanpa menghentikan tangisnya. Bibirnya masih bergetar. Vera tampak sudah kacau.

    “Kita harus segera pulang,” ucap Rosita hambar.

    Seperti ada sedikit rasa kesal dari pandangan Rosi pada Vera. Barangkali Rosi berpikir; entah perasaan besar apa yang sudah hilang dalam diri Vera, Rosita tidak bisa memahaminya. Namun ia berpikir jutaan kali andaikan peristiwa tadi terjadi pada pacarnya sekalipun, Rosita tidak akan menyesalinya sampai seperti Vera. Rosita masih menatap Vera datar.

Di sisi lain Rosita juga sangat merasa terpukul atas peristiwa yang menimpa beberapa temannya. Mungkin sebelum Arda terjun tadi, Rosita juga mengawang pada Ika, Rodi, Sisil, Iyan, Guntur, Ujang, semuanya masih berterbangan di kepalanya. Kemana mereka? Mati?

    “Sakedeng dei subuh. Karep maraneh, pek balik apa moal. Tuturkeun mun masih keneh hayang hirup.” (sebentar lagi subuh. Terserah kalian ingin pulang, atau tidak. Ikuti aku jika kalian masih mau hidup) seru Bah Ja'i berlalu.

    Rosita yang masih berjongkok di samping Vera, mengangkat pandangannya, menatap Bah Ja'i.

    Teguh saling bertatapan dengan Petet. Lalu mereka melangkah. Teguh mendekati Rosita, mengedikan dagu, mengajak Rosita untuk mengabaikan Vera, dan segera ikuti Bah Ja'i. Petet membantu Rani untuk berjalan. Rani mengangkat tangan kanannya. “Ulah ringrang.” (Jangan khawatir) kata Rani, ia bisa berjalan sendiri—maksudnya.

Rani sempat memperhatikan keduanya antara Vera yang masih terbaring, dan Sam yang masih duduk melipat kedua kakinya, menatap lurus ke depan. Lantas Petet menepuk bahunya, meminta agar Rani tidak perlu memikirkan orang lain.

    Bah Ja'i tampak sudah jauh berjalan meninggalkan Sam. Di ikuti Rosita dan Teguh di belakangnya, lalu Rani dan Petet berikutnya.

    Di depan sana tampak sebuah pohon-pohon besar kembali berjajar. Semak belukar, juga tumbuhan-tumbuhan asing ikut menutup jalan. Tidak ada lagi jalanan yang normal, tidak ada dataran yang lapang. Akan tetapi memang ke sana lah arah Bah Ja'i berjalan.

Napak TilasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang