Part 42: Menjadi Istirahat Terakhir

84 8 7
                                    

    “Kita sudah sejauh ini berjalan, tapi belum menemukan petunjuk apapun, ya?” kata Fely. Berhembus pasrah.

    Iyan melirik. Senternya tetap ia arahkan ke depan. Sementara Guntur memandangi senter yang ia pegang. Tidak menyala.

    “Apa Maya bisa melakukannya?” hembus Guntur, tiba-tiba. Tanpa tahu kepada siapa pertanyaannya terarah.

    Fely menoleh. Iyan juga. Guntur memperhatikan keduanya. Langkah mereka tidak berhenti. Guntur mengangkat kedua bahu, menarik bibirnya tipis. Mengacungkan senter yang ia pegang—setengah lengan—menunjukan maksudnya. “Dia tidak membawa senter untuk penerangan.”

    Fely berhembus. “Dia kadang-kadang memang ceroboh.”

    Iyan mengangguk-angguk tipis. Ia tidak lekas menggubris. Lalu tiba-tiba Iyan memicing. Beberapa detik setelah itu, langkahnya melambat. Berhenti. Fely di sisinya tidak menoleh. Fely fokus ke arah depan—turut berhenti melangkah.

    “Menanjak lagi,” hembus Guntur. Terdengar lelah.

    “Apa kau yakin ke sini jalannya?” kata Fely.

    “Apa kita harus menembus hutan?” sahut Iyan datar, menoleh pada Fely.

    Fely menatapnya—hambar.

    “Jelas-jelas kita mengikuti jalurnya. Seluas ini. Tidak ada persimpangan,” tandas Iyan, kembali memusatkan pandangannya ke depan.

    Guntur memperhatikan keduanya. Mengangkat kedua alis. Menarik napas. “Ayo kita lakukan lagi,” katanya, melangkah.

    Fely menoleh, memperhatikan Guntur. Lalu kembali menatap Iyan. Iyan mengedikan dagunya, meminta Fely berjalan duluan. Fely menarik sudut bibirnya, tidak berkata apa-apa. Mulai melangkah.

    Creekk!!

    Guntur menyalakan senter yang ia pegang, berjalan paling depan. Fely berjalan bersamaan dengan Iyan. Cukup tenang. Iyan mengarahkan cahaya senternya ke berbagai arah. Tidak ada obrolan dari ketiganya setelah berjalan. Hening, hanya suara langkah kaki mereka yang terdengar ringan. Jalanan yang mereka pijak mulai menanjak.

    Guntur berhenti melangkah, berbalik badan. “Ini sepertinya akan cukup panjang.”

    Fely dan Iyan tidak lantas berhenti melangkah. Mereka menatap Guntur, sama-sama mengangguk tipis. Mereka tahu, ujungnya tidak terlihat di atas sana. Belum. Belum terlihat puncaknya. Tampaknya bukit yang mereka pijak saat itu memang akan cukup panjang. Cukup tinggi.

Guntur merapatkan bibirnya, kembali berbalik dan melanjutkan langkahnya. Beruntung jalannya tidak terlalu terjal memang, tapi cukup terlihat menanjak.

Masih tidak ada obrolan yang keluar. Mereka pun masih tampak tenang dan santai melangkah. Tidak terlihat lelah. Beberapa langkah terlewati, tepian jalur mulai ditumbuhi banyak ilalang-ilalang tinggi. Fely berkerut dahi memperhatikan sisi demi sisi. Tidak demikian dengan Iyan. Cahaya senternya Iyan arahkan ke tepian jalur. Kiri, kanan. Memperhatikannya dengan hambar. Tidak ada yang aneh.

Beberapa langkah berikutnya mulai terdengar samar suara-suara jangkrik saling bersautan. Samar, kecil sekali. Terdengar jauh. Mungkin di atas puncaknya, atau bisa jadi di balik puncaknya. Entah?

    Guntur menoleh pada Iyan, melempar senyum kecil dengan kedua alis yang terangkat. Fely memperhatikannya bingung-bingung. Iyan membalas senyum Guntur dengan anggukan kepala tipis-tipis.

    “Ada apa?” tanya Fely.

    Guntur melirik, tidak lantas menghentikan langkahnya. Tidak menghilangkan senyumnya. Fely semakin berkerut dahi, tidak mengerti. Lantas menoleh pada Iyan. “Kenapa?” desak Fely.

Napak TilasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang