Sam terbaring di atas anyaman bambu rotan. Lusuh baju kaos yang ia kenakan itu. Kotor, sobek-sobek. Sam mulai membuka matanya perlahan. Ia mengerutkan wajahnya, memegang kepalanya.
Sam menyisir sebuah ruang tempat di mana ia kini terbaring. Bebatuan skalaktit. Ia berada di dalam sebuah goa. Matanya mulai mendelik. Kesadarannya hampir sempurna. Sam mulai bangkit. Ia duduk daripada ranjang dari anyaman bambu itu. Terang goa ini—mungkin dalam batinnya.
Beberapa api yang menyala dari obor di dalam goa itu membuatnya terang. Sam mulai berpikir matang-matang, pasti goanya tidak terlalu dalam, sebab api masih dapat menyala sempurna di sini. Tapi, di mana ia kini? Siapa yang telah membawanya ke tempat seperti ini?
Tap tap
Suara langkah kaki terdengar samar menggema di suatu lorong lain dari ruangan tempat Sam berada. Sam memasang telinga kuat-kuat. Melirik ke sumber suara. Siapa itu?
“Tos gugah, Jang?” (Kau sudah sadar) ucap seorang kakek tiba-tiba. Itu Kakek yang Sam lihat sebelumnya. Sebelum ia tidak sadarkan diri.
Lalu Sam mulai mengingat. Di mana Rizal? Sam menyisir ke sudut-sudut ruangan. Tampak panik.
Tap tap
Si Kakek itu melangkah mendekati Sam dengan senyuman aneh di bibirnya. Senyum yang nampak di buat-buat.
“Abah saha, Bah? Rerencangan Abdi di mana? Terus ari iye teh di mana?” (Kakek siapa? Mana temanku? Dan, di mana ini) kata Sam melontarkan beberapa tanya pada si Kakek.
“Ulah waka seeur naros. Gera jagjag ela, Jang,” (Jangan dulu banyak bertanya, lekas pulih saja dulu) timpal Si Kakek.
Sam memperhatikan Kakek itu dengan berkerut kening.
Kakek itu membawa sebuah teko di tangan kanannya. Teko itu tampak teko jaman kerajaan dulu. Mirip seperti kendi. Kakek itu mulai mengambil sebuah kursi yang juga terbuat dari anyaman bambu, tampaknya. Berjalan terbungkuk, dan teko yang ia pegang mulai bergetar di tangannya—tampak kesusahan.
Sam mulai bangkit dari duduknya. Ia mulai memapah si Kakek. Si Kakek melirik Sam ketika Sam mengambil teko dari tangan si kakek, dan membantunya berjalan.
“Atos Jang. Palih die,” (Sudah cukup, di sini saja) ujar si Kakek.
Sam melepas tangannya. Mulai memperhatikan Kakek itu.
“Calik, Jang. Abah bade naros,” (duduk, aku mau bertanya) kata si Kakek.
Sam mengerutkan dahi, menuruti permintaan Kakek itu. Ia mulai duduk di tempat ia terbaring tadi. Lalu meletakan teko di sampingnya kini.
“Abah saha?” (Kakek siapa) tanya Sam.
Kakek itu tersenyum pada Sam. “Aya niat naon ujang-ujang dongkap ka iye tempat?” (ada tujuan apa kalian datang ke tempat ini) alih-alih menjawab pertanyaan dari Sam, si Kakek malah melontarkan pertanyaan balik.
“Niat mimiti na mah abdi bade ka hutan pinus patilasan, Bah,” (Niat awalnya kami akan menuju ke hutan pinus patilasan, Kek)
Kakek itu tersenyum tipis. Menatap mata Sam sejenak. Kemudian menutup matanya. Senyumnya tidak lekas Kakek itu hilangkan. Sam masih memperhatikan. Kakek itu mulai mengangguk-anggukan kepalanya.
“Tujuan ujang ka die nyak?” (Tujuanmu ke sini kan)
Sam memalingkan bola matanya. Tidak paham, ke mana yang di maksud Kakek itu.
“Goa dewi sakti,” ujar si Kakek.
Sam mengernyit. Matanya mendelik, keningnya berkerut.

KAMU SEDANG MEMBACA
Napak Tilas
HorrorNapak Tilas: sisi mistis tanah sunda Ada satu cerita tentang sebuah perjalanan yang dilakukan oleh delapan muda-mudi dari Ibu Kota Jakarta, menuju sebuah desa Wangunreja, di Kabupaten Sukabumi. Mereka beranggotakan 4 laki-laki, dan 4 perempuan. Ini...