“Ujang!”
Ujang tersadar dari lamunannya. Sisil sudah ada tepat di depan wajah Ujang.
“Ari maneh kunaon ih? Di goroan tatadi!” (Kau kenapa sih, aku panggil dari tadi)
“E ... Eh, aya naon, Sil?” (Ada apa, Sil?) balas Ujang terbata.
“Itu si Desi muriang. Gering,” (Itu Desi meriang, dia sakit)
Ujang tampak kikuk. Sisil menatapnya aneh. "Ari maneh kunaon luman lamun kitu?" (Apa yang sedang kau pikirkan?)
“E ... Nte, Sil,” (Engga, Sil) sergah Ujang.
“Hayu atuh itu si Desi kumaha?” (Lantas Desi bagaimana itu)
Ujang clingak-clinguk masih tampak bingung apa yang seharusnya ia perbuat? Ujang tahu, Sisil memanggilnya sebab pasti sudah tidak ada cara yang bisa Sisil lakukan untuk menangani Desi. Ujang menatap Sisil lamat-lamat. Ada tatapan yang tidak biasa dari Ujang pada Sisil.
“Jang!?”
“E ... Eh. Maneh huhujanan, Sil?” (E ... Kamu kehujanan, Sil)
“Ih, Ujang ari maneh kunaon? Rarudet pisan. Heeh urang ngagoroan maneh tatadi nte nemal-nemal atuh. Matak disamperken da.” (Ya Ampun, Ujang kau kenapa sih? Ribet sekali. Ya, aku memanggilmu dari tadi, kau tidak menyahutiku. Lalu aku menghampirimu)
Ujang pun segera bangkit. Ia tergesa memeriksa Desi di dalam bivak. Sisil berdiri di belakang Ujang. Tetes demi tetes air hujan yang turun pelan, lama-lama membuat Ujang, dan Sisil kebasahan. Ujang menoleh, menatap Sisil.
“Maneh di jero. Jagaan ela,” (Kau di dalam. Jagain dulu)
Lantas Ujang mulai menyalakan lampu senter. Ia bergegas mengambil parang.
“Maneh rek kamana?” (Kau mau ke mana?)
“Neangan samiloto.” (Mencari sambiloto) sergah Ujang sembari berlalu.
“Ujang ...” Sisil memanggil, tapi Ujang sudah jauh. “Ih aya ge moal atuh samiloto.” (Memangnya sambiloto tumbuh di sini) desus Sisil setelahnya.
Lalu, Sisil kembali memperhatikan Desi kembali dengan tatapan datar. Desi terpejam, bibirnya masih tampak pucat. Sisil membuka tas ranselnya. Ia mengambil jaket tebal yang tidak pernah ia pakai sebelumnya. Sisil memeluk jaket tebalnya, sembari memandangi Desi.
****
“Gusti kuat papisah kieu barudak. Meni watir katingalna,” desis Bah Ja'i sembari masih menyoroti Hasbi, yang tengah menindih Jarsip.
Hasbi tanpa ubah posisi memperhatikan Bah Ja'i di belakang, dengan terisak. Tidak lama setelah itu, Hasbi bangkit.
“Silakan,” kata Hasbi. “Akhiri saja sekarang.” lanjutnya dengan pasrah-berpikir jika Bah Ja'i adalah salah satu dari penghuni hutan yang menyerangnya.
Bah Ja'i tidak mengerti apa yang Hasbi katakan. Bah Ja'i mendekati Hasbi, dan Jarsip, tanpa bicara. Hasbi memperhatikan langkah demi langkah Bah Ja'i, lewat ekor matanya. Tubuh Hasbi tidak bergerak sama sekali, bahkan tidak menoleh ke samping ketika Bah Ja'i melewatinya. Bah Ja'i merangkul Jarsip. Mengangkat, dan membawanya ke arah lubang goa.
“Mau kau apakan temanku?” seru Hasbi saat itu.
Bah Ja'i tidak merespon. Ia terus berjalan sampai mau menuruni goa, sembari menggendongkan Jarsip di pundaknya. Entah energi apa yang Bah Ja'i pakai, jika di awal kemunculannya, Bah Ja'i tampak seperti kakek-kakek lemah pada umumnya. Saat itu, dia berjalan normal, bahkan sambil mengangkat Jarsip.
KAMU SEDANG MEMBACA
Napak Tilas
TerrorNapak Tilas: sisi mistis tanah sunda Ada satu cerita tentang sebuah perjalanan yang dilakukan oleh delapan muda-mudi dari Ibu Kota Jakarta, menuju sebuah desa Wangunreja, di Kabupaten Sukabumi. Mereka beranggotakan 4 laki-laki, dan 4 perempuan. Ini...