“Andai Teteh bisa memanggil Barbun, dan Baskara, pasti mereka bisa membantu. Tapi perlu Teteh pertimbangkan lagi. Yang akan Teteh hadapi adalah aden-aden ras terkuat. Mereka serupa jin, dan manusia. Raja dari segala raja aden-aden.”
Maya tampak berpikir. Berkerut kening, menatap ke tanah. “Aden-aden?”
Anak itu mengangguk satu kali. “Kami aden-aden. Kami sengaja dicari untuk dijadikan budak penjaga. Kami dipaksa bertarung melawan penjaga sebenarnya dalam tubuh manusia—'guardian angel'. Jika kami menang, kami bebas. Jika kami kalah, kami akan patuh perintah. Beberapa malaikat penjaga dari setiap manusia berbeda-beda. Ada yang kuat, ada yang terkuat. Ada yang lemah, ada yang terlemah. Manusia menjadi gila andai kami kalahkan malaikat penjaga miliknya. Itu kenapa jangan main-main dengan ilmu kebatinan seperti mencari kami. Andai ilmunya tidak terkendali, manusia akan hilang kejiwaannya.”
Maya bergeming, lebih tepatnya seperti berpikir. Maya tidak langsung merespon paparan anak itu. Maya menerawang.
“Teh Maya, dan Teh Irma banyak diceritakan para sesepuhku di sana. Kata mereka, Teh Maya, dan Teh Irma menjadi salah satu yang paling beruntung bisa memiliki kami tanpa perlawanan. Karena kami datang diwariskan oleh Ambu Asih.”
Maya menoleh, menatap langsung anak itu. “Ibuku?”
Anak itu mengangguk lagi. “Ambu Asih diceritakan sesepuhku adalah sosok yang kuat. Mereka ditaklukan oleh malaikat penjaga Ambu dalam kurun waktu satu minggu. Waktu yang begitu cepat dari biasanya.”
Maya memiringkan kepalanya. “Berapa jangka waktu normalnya?”
“Tidak terhitung. Tergantung seberapa kuat malaikat penjaga manusia bertahan hadapi perlawanan. Biasanya satu tahun, dan dua bulan sebelumnya adalah masa pemulihan. Mungkin kalian biasa menyebutnya sekarat. Malaikat penjaga sekarat, tidak kurang dari dua bulan. Dalam masa itu, kami tidak dianjurkan menyerang. Malaikat penjaga dibiarkan mati pelan-pelan. Saat itulah, manusia mulai hilang kejiwaannya.”
Maya mendelik tanggung. Tatapannya kembali terarah ke tanah.
“Tapi Ambu, bisa melalui itu dengan cepat. Aku tidak bisa bayangkan betapa kuatnya dia. Aku belum ada.”
Maya melirik, menatap hambar. “Oh iya. Tadi kan kau bilang, kau baru terlahir ya?”
Anak itu mengangguk.
“Karek borojol pisan?” (baru terlahir banget)
Anak itu kembali mengangguk.
“Bagaimana bisa? Usiamu sekarang tampak sudah seperti anak usia sepuluh tahun, bahkan.”
“Kami aden-aden. Teh Maya akan memahami kami pelan-pelan.”
Maya menarik napas. “Huummmh ... Entahlah, sulit aku cerna. Pemahamanmu bahkan sudah tahu segalanya.”
Anak itu menatap Maya hambar. Masih belum memperlihatkan emosi di wajahnya. Maya melirik. Lengang beberapa saat. Maya menunggu pemaparan selanjutnya dari anak itu, begitu juga sebaliknya. Anak itu menunggu Maya bertanya sesuatu.
“Aku bisa memanggilmu apa?”
“Neneng.”
Maya mengangguk-angguk tipis, menarik bibirnya. “Neneng.”
Anak itu memperhatikan Maya. Membisu.
“Raja aden-aden. Serupa jin, dan manusia. Maksudnya bagaimana? Apa kau juga termasuk bagiannya? Kau tampak seperti kami juga.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Napak Tilas
HorrorNapak Tilas: sisi mistis tanah sunda Ada satu cerita tentang sebuah perjalanan yang dilakukan oleh delapan muda-mudi dari Ibu Kota Jakarta, menuju sebuah desa Wangunreja, di Kabupaten Sukabumi. Mereka beranggotakan 4 laki-laki, dan 4 perempuan. Ini...