Sisil memutar kepalanya cepat, di ikuti Ujang di sana. Mereka lalu saling bertatapan, “Ngadenge teu?” (Kau dengar) ucap Sisil.
Ujang dengan mata yang terbuka lebar, mengangguk. Sisil langsung berlari menuju sumber suara, di ikuti Ujang di belakangnya. Mereka mendengar teriakan seseorang dari arah yang sebelumnya Sisil, dan Ujang lewati. Tidak nampak Iyan, dan Guntur bersama mereka, seperti yang seharusnya sebagai tim pemburu liar.
Hutan itu kini mulai gelap. Malam ke empat untuk tim napak tilas, Sam. Dan malam ke empat untuk Sisil, dan sebagian tim pemburu liar. Katanya, sisa dari mereka terpisah. Sisil dengan style yang seperti biasanya, ia menyorenkan laras panjang di punggungnya. Begitu pun Ujang yang setia dengan busur panah di tangannya. Masing-masing dari mereka memegang lampu senter yang menyala. Mereka mengarahkannya ke berbagai arah di hutan itu. Namun cahaya dari lampu senter tidak bisa menembus jarak pandang yang jauh. Cahaya terhenti beberapa meter di sekeliling mereka. Cahaya lampu senter terhalang pohon besar, terhalang semak, dan segala jenis tumbuhan di hutan yang lebat itu.
“Aaahh toloooong..”
Suara seorang perempuan meminta tolong terdengar jelas di telinga Sisil, dan Ujang. Suara itu sangat parau. Terdengar lemas, namun cukup bertenaga. Sisil, dan Ujang mengarahkan cahaya lampu senter ke sumber suara. Tidak ada orang, itu semak belukar, lengkap dengan dua batang pohon besar berdiri di sisi kiri, dan kanan.
“Iya, aku di sini. Tolong ...” kata perempuan di balik semak itu setelah sadar cahaya lampu senter mengarah ke posisinya.
Sisil, dan Ujang malah saling pandang. Mereka nampak heran. Bingung akan tindakan apa yang harus di lakukan, mengingat peristiwa-peristiwa sebelumnya yang terjadi pada mereka di hutan itu.
“Aku tidak peduli siapa kau. Entah lah, di sini sungguh tempat yang memuakan. Jika aku adalah mangsa, bunuh aku sekarang. Aku sungguh menderita. Kaki-ku tergigit ular nampaknya,” papar suara perempuan di balik semak. Terdengar sangat lemas.
Sisil memicing. Lalu menatap Ujang. “Manehna jelema,” (dia manusia) bisik Sisil.
“Lain urang Sunda. Jigana babaturan si Hasbi, jeung si Jarsip, Sil,” (bukan orang sunda. Sepertinya teman Hasbi, dan Jarsip, Sil) tebak Ujang.
Sisil mengangguk pasti. “Apa kau teman Hasbi, dan Jarsip?”
“Oh tuhan. Ya, benar. Aku Desi. Aku teman mereka.” Semak-semak itu bergerak. Ternyata di baliknya adalah Desi. Desi yang mencoba meraih Sisil, dan Ujang dengan tergesa, menyisakan semak yang hanya bergerak-gerak.
Tanpa banyak bertanya, Sisil, dan Ujang bergegas menghampiri semak itu. Mendapati Desi dengan wajah yang sangat pucat.
“Astaga. Apa yang sudah terjadi padamu?” ucap Sisil meraih Desi. Tangan kirinya memeriksa semua badan Desi. Tangan kanan nya menaruh senter di tanah.
Ujang segera mengangkat tubuh Desi untuk keluar dari semak sempit itu.
“Hoooh ... Terima kasih,” ucap Desi—nampak tak mampu berkata banyak.
“Bagian mana yang katamu tergigit ular?” sergah Sisil di sana.
Desi mengangkat sedikit celana lapangan bagian kirinya—menunjukan titik sakit di bagian pergelangan kakinya. “Aku belum dapat pastikan ...” ucap Desi semakin lemas. Kalimatnya terjeda, ia berbicara dengan nafas berat. “Seperti apa luka gigitannya,” lanjutnya berusaha menyempurnakan kalimat.
Sisil, dan Ujang berkerut dahi. Sisil memeriksa bagian kaki Desi. Ujang berusaha memberi cahaya dengan lampu senternya di sana.
Sisil melirik pada wajah Desi. “Apa yang kau rasakan?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Napak Tilas
HororNapak Tilas: sisi mistis tanah sunda Ada satu cerita tentang sebuah perjalanan yang dilakukan oleh delapan muda-mudi dari Ibu Kota Jakarta, menuju sebuah desa Wangunreja, di Kabupaten Sukabumi. Mereka beranggotakan 4 laki-laki, dan 4 perempuan. Ini...