Hutan sudah sepertengah gelap. Nampaknya hari sudah mulai sore. Entah jam berapa, arloji milik Hasbi mati sedari tadi.
Hasbi yang berjalan di depan Jarsip tiba-tiba berhenti mengingat sesuatu.
“Ada apa?” tanya Jarsip.
“Jas, ...” Hasbi berbalik. “Tenda ada di tas siapa selain di Tasmu?”
Jarsip mencoba mengingatnya. Ujung matanya ia arahkan pada semak, fokus berfikir.
“Astaga!” ucap Jarsip.
“Di siapa?” tanya Hasbi memastikan.
“Kau tidak lihat gulungan tenda di tas Rizal saat kau periksa tadi?”
“Aku tidak melihatnya.”
“Seharusnya, tenda para pria di bawa oleh Rizal,” ucap Jarsip sambil membuka tas Rizal yang ia seret selama perjalanan.
“Celaka, mereka tidur dimana jika tidak ada tenda?” tambah Hasbi khawatir.
Sreeett
Resleting tas Rizal di buka. Jarsip mengaduk-aduk isi dalam tas Rizal.
“Sial. Benar, tendanya ada disini,” ucap Jarsip.
Hasbi membuang wajahnya. Melihat keatas tidak karuan. Lalu duduk diantara semak.
“Mengapa perjalanan ini sebegitu rumit. Selalu ada masalah. Masalah lagi, masalah lagi,” ketus Jarsip.
“Bajingan!” sentak Hasbi.
“Aaaaaaaahhh ...!” lanjutnya berteriak sambil menarik rumput liar yang tumbuh di tanah.
“Kita hampir seharian berjalan. Menemukan teman kita, atau menemukan jalan pulang. Keduanya belum kita temukan.” Jarsip berucap lirih.
“He'” Hasbi menyeringai.
“Jas! Apa yang kau pikirkan sebelum melakukan perjalanan ini?” tanya Hasbi.
Jarsip masih murung. Melirik Hasbi sekilas. "Yang jelas, aku tidak pernah sama sekali berpikir akan terjadi seperti ini pada perjalanan kita."
Hasbi mengangguk-angguk kecil. Ia melihat ke atap-atap hutan.
“Hari sudah mulai sore nampaknya.”
“Kita lanjut berjalan?” tanya Jarsip memastikan.
“Kau tahu, aku belum pernah sama sekali melakukan perjalanan seperti ini. Menyusuri hutan-hutan, atau yang lebih familiar dari orang-orang sebagai mendaki.”
“Ya, kita semua tahu itu. Dan kita ada di posisi sama. Hanya Sam yang kita percaya dalam perjalanan ini untuk membawa kita selamat.”
Hasbi tersenyum tipis. Lalu ia merebahkan tubuhnya menindih pada semak.
Jarsip memperhatikan tingkah temannya itu. “Hati-hati, Bi. Bagaimana jika semak yang kau dorong adalah sarang ular. Kau mengusiknya.”
“Biarkan aku mati disini,” jawab Hasbi tenang.
Jarsip mengernyit.
“Seharusnya kau tidak perlu membantuku saat jatuh kejurang tadi,” ucap Hasbi.
“Hampir terjatuh.” Jarsip membenarkan.
“Ya. Hampir. Karena ada kau yang menolongku.”
“Tapi kau sendiri menolak untuk jatuh. Kau menahan tubuhmu dengan memegang kuat akar pohon yang tumbuh menembus tanah di dinding jurang.”
“Kau mendorongku hingga tergelincir.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Napak Tilas
HorrorNapak Tilas: sisi mistis tanah sunda Ada satu cerita tentang sebuah perjalanan yang dilakukan oleh delapan muda-mudi dari Ibu Kota Jakarta, menuju sebuah desa Wangunreja, di Kabupaten Sukabumi. Mereka beranggotakan 4 laki-laki, dan 4 perempuan. Ini...