Part 10: Hutan Pedalaman Angkrea

252 21 0
                                    

   Sukabumi, Rabu 12 Maret 2008

   Bumi Angkrea
   Bumi angkrea adalah hutan lebat yang jarang dijamah manusia. Lokasinya yang jauh dipedalaman hutan membuat lokasi ini nampak menakutkan. Bumi angkrea pernah diceritakan oleh bah Dadun-seorang kakek tua, yang rumahnya tidak jauh dari Agung Satria.

   Sam berjalan seperti pada biasanya. Namun kini dengan tanggung jawabnya sebagai pemimpin tim, ia memapah Rizal yang pincang. Kakinya dibalut perban. Rizal bersusah payah berjalan.

Ada Jarsip yang harus terima repot di belakang sebagai penutup barisan. Bergantian posisi baris bersama Hasbi, mereka berdua bergantian pula membawa tas besar milik Rizal.

   Crek!

   Sam menghentikan langkahnya. Pusat matanya menyisir lokasi sekitar hutan. Masih lebat saja. Bahkan, Sam sepertinya belum pernah ke tempat itu sebelumnya.

   “Ada apa, Sam?” tanya Desi di belakangnya.

   Semua ikut memperhatikan seisi hutan.

   Sam mendudukan Rizal di bawah pohon besar yang berdiri kokoh ditempat itu. Sangat lembab.

   “Aughh!” desus Vera.

   “Kenapa, Ve?” tanya Fely memastikan.

   Vera menggeleng kecil. “Nyamuk hutan. Gigitannya sakit.”

   “Kau tidak lupa bawa lotion anti nyamuk kan? Hehe,” sergah Jarsip.

   “Kita mendirikan tenda disini saja. Hari sudah mulai sore,” ucap Sam.

   “Dimana kita bisa mendirikan tenda?” timpal Maya—memperhatikan tempat sekitar. Sepertinya tidak ada yang layak untuk mendirikan sebuah tenda.

Banyak sekali semak, dan sangat berantakan oleh tumbuhan-tumbuhan lainnya.

   “Eeehh ... Jas, bantu aku membersihkan semua semak,” titah Sam mulai mengeluarkan goloknya.

   “Ah aku juga bantu,” ucap Hasbi.

   Dari pedalaman hutan lebat, kedelapan muda-mudi kini menjadi tamu yang tidak di undang kehadirannya. Ketiga lelaki mulai bersama-sama menyisirkan semua semak, dan tumbuhan lain yang menutup permukaan tanah disana.

Sementara Rizal duduk bersandar pada pohon besar ditemani ke empat wanita. Desi yang khawatir melihat keadaan pacarnya itu, terjaga di sampingnya.

****

   Bulan seharusnya terlihat cukup terang malam itu, sehingga dapat sedikit cahaya yang dapat menerangi mereka di malam kemah kedua ini.

Api unggun yang kecil mulai berkobar di tengah-tengah lingkaran kedelapan muda-mudi itu. Semua tatapan tertuju sama pada pusat nyala-nya api.

Rizal ditemani Desi di sisinya terduduk sama. Mereka saling berpegangan tangan menatap pusat api. Ada Sam dan Jarsip yang sedang mengatur api unggun itu dengan mengorek-ngorek ranting.

   Maya dan Fely sibuk memasukan bumbu-bumbu mie instan dalam beberapa wadah plastik. Mereka akan makan bersama setelahnya.

   “Ssstt ...” desis Fely pada Maya.

   Maya menoleh, menatap Fely di depannya.

  BFely menongakan kepalanya begitu Maya menatapnya. -lihat Vera-kalimat itu yang seharusnya terucap dari mulut Fely, yang ia peragakan hanya dengan isyarat gerakan kepala.

Napak TilasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang