Maya berjalan dalam kegelapan malam. Beruntung ia tetap mengikuti jalur yang sedikitnya masih bisa melihat sekitar—walau samar. Ia lupa, seharusnya senternya dia bawa tadi sebelum pergi. Tapi jauh dalam langkahnya, bukan itu yang Maya pikirkan. Ia tampak lebih menerawang perihal tadi. Dia bahkan tidak percaya apa yang sudah terjadi.
Jauh sudah Maya melangkah, Dan tampak jelas dari wajahnya tersadar kalau dia sendirian. Energi lain samar-samar menyeruak sekelebat dari penglihatannya. Maya berkedip-kedip mata, mencermati apa yang baru saja terlihat oleh matanya. Tapi hanya sekilas, tidak ada apa-apa setelah itu. Bau-bau aneh sekejap-sekejap tercium juga. Maya masih belum sepenuhnya mengerti bagaimana ia bisa melakukan hal seperti tadi. Ia tersadar setelah semuanya bisa dia lihat dengan jelas, dan badan yang terasa sangat pegal. Dia baru saja kerasukan. Tapi bagaimana ia melakukannya? Maya hanya berusaha melawan, lalu ia tersadar.
Tiba-tiba dalam heningnya malam, samar Maya mendengar suara-suara mengganggu di sisi jalur. Maya melirik, tidak berhenti berjalan. Kembali, ia mencium bau-bau aneh di sekelilingnya. Hidungnya tampak mengendus-endus, matanya awas memperhatikan sekitar. Maya melangkah pelan, hati-hati. Maya tidak bisa sempurna melihat dengan kondisi gelap.
Maya berhenti melangkah. Keningnya berkerut, memperhatikan sesuatu dari arah depan. Samar seperti seseorang berdiri membelakangi. Memakai baju lengan panjang berwarna coklat—atau orange, entahlah. Tangannya memegang tongkat panjang. Itu sosok laki-laki.
“Halo!?”
Tidak ada respon. Maya memajukan sedikit kepalanya, berkerut kening. Satu detik setelah itu, ia menarik kembali kepalanya, mengencangkan urat leher. Masih berkerut kening. Maya tidak mendapat respon apapun.
Sreeeet ... sreeeeett
Laki-laki itu tiba-tiba saja berjalan. Mata Maya membesar memperhatikannya. Lihat itu, satu kakinya terluka. Pantas dia membawa tongkat. Maya baru tersadar dengan luka di kaki kiri laki-laki itu. Dia berjalan menyeret kakinya sendiri. Berdarah. Cukup parah.
“Hey, Mang!?”
Laki-laki itu tetap tidak berpaling. Maya mulai melangkah pelan-pelan, mengikutinya dari belakang.
“Mamang mau ke mana? Kaki Mamang teh gak apa-apa?”
Lagi. Tidak ada respon sama sekali. Laki-laki itu terus melangkah menyeret kakinya. Maya menelan ludah, mengerutkan kantung matanya sedikit, memperhatikan sosok laki-laki itu. Pelan-pelan Maya tersadar sempurna. Ia mendelik tanggung. Pandangannya berpaling, tidak lagi tertuju pada laki-laki itu. Maya kembali menyadari bahwa ia sendirian. Seperti yang sudah terjadi sebelum-sebelumnya, tidak ada siapa-siapa di hutan ini. Maya berhenti melangkah. Berhenti mengikuti laki-laki itu. Maya benar-benar telah sempurna sadar. Itu bukan sosok manusia normal.
Sreeeet .... Sreeeeettt
Maya memperhatikan punggung sosok laki-laki itu. Pelan-pelan menjauh, pelan-pelan hilang dari pandangan. Jarak penglihatan sangat terbatas. Sekali lagi, Maya menelan ludah. Maya mulai menatap kosong. Tatapannya tidak beralih dari posisi sosok laki-laki tadi. Bunyi kaki yang diseretnya masih terdengar jelas.
Sreeeet ... Sreeett
Beberapa detik kemudian, Maya berkelip mata. Ia menarik napas panjang.
“May ... Fokus,” desisnya, berhembus pelan.
Sreeeet ... Sreeeettt
Kembali, Maya memperhatikan sekitar. Menoleh kiri, kanan, dan belakangnya. Jarak pandangnya benar-benar terbatas. Maya menongak ke langit-langit. Tidak ada bulan. Hanya ada taburan bintang di sana. Maya berhembus pelan, kembali memusatkan pandangannya ke depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Napak Tilas
HorrorNapak Tilas: sisi mistis tanah sunda Ada satu cerita tentang sebuah perjalanan yang dilakukan oleh delapan muda-mudi dari Ibu Kota Jakarta, menuju sebuah desa Wangunreja, di Kabupaten Sukabumi. Mereka beranggotakan 4 laki-laki, dan 4 perempuan. Ini...