Part 39: Pengakuan Panjang

75 8 4
                                    

    Perjalanan telah berlanjut dengan bertambahnya Sisil dan Ujang menjadi bagian. Bah Ja'i tidak pernah berpikir akan adanya kemunculan tim pemburu liar yang Teguh pimpin.
Dan barangkali tidak mengharapkannya juga. Seterusnya Bah Ja'i tidak mau juga bertanya siapa mereka. Mungkin Bah Ja'i sudah tahu akan situasinya yang memang kebetulan ada mereka, atau bisa jadi Bah Ja'i memang tidak pernah peduli sama sekali.

Bah Ja'i berjalan paling depan. Perbatasan dataran yang tadi tertutup semak, ternyata tidak sepanjang perjalanannya seperti itu. Malam itu juga mereka mulai melangkah cukup leluasa.

    Sam berjalan dua meter di belakang Bah Ja'i, diikuti Vera di dekatnya. Berjarak sekitar tiga meter ke belalang, tim pemburu liar turut berbaris rapi. Dari mulai Teguh, Rosi, Rani, juga Petet. Sisanya, berjarak cukup renggang ada Sisil, dan Ujang.

    Rani tampak sesekali menengok ke belakang, melirik Sisil, dan Ujang. Demikian juga dengan Petet. Dua orang itu seperti bimbang menimbang, atau ragu mengambil tindakan. Namun dari keduanya, antara Petet dan Rani, seperti punya pemikiran yang sejalan. Ingin menyapa, terlebih mengobrol banyak dengan Sisil, dan Ujang—dua di antara teman mereka yang tentu lama sudah terpisah. Tapi memang melihat situasinya yang tidak memungkinkan, hanya itu yang dapat Petet, dan Rani lakukan. Menoleh ke belakang, memastikan Sisil dan Ujang masih di sana turut ikut melangkah.

Terlebih mempertimbangkan atas sikap ego kepemimpinan Teguh dan pacarnya Rosita, mereka pasti akan turut memperburuk suasana jika Rani mengikuti kemauannya malam itu juga—berhenti melangkah, menunggu Sisil dan Ujang mendekat, lalu memeluk mereka.

    “Kemana tujuan kita berjalan sebenarnya?” bisik Sisil—alih-alih bertanya pada Ujang yang berjalan di sisinya.

    “Aku dengar tadi Kakek tua itu akan membantu menuntun Sam pulang.”

    Sisil tidak lekas merespon. Ia memicing ke arah depan. Lampu senternya fokus ia arahkan demi menerangi langkahnya. Di depan mereka berdua juga cukup penerangan. Teman-temannya di sana sama-sama menyalakan lampu senter, termasuk Bah Ja'i yang memimpin barisan. Sisil menitik fokuskan pandangannya pada Sam.

    “Jadi dia yang namanya Sam,” desisnya pelan.

    “Yang aku tidak mengerti, kenapa mereka bisa bertemu dengan Sam. Lalu Hasbi dan Jarsip sebagai temannya di pertemukan dengan kita,” selosor Ujang.

    Sisil menoleh sedetik tanpa menghentikan langkahnya. Sisil mengangguk-anggukan kepala.

    “Hutan ini memang bukan hutan biasa, Jang.”

    Ujang membisu, menoleh satu detik.

    “Kau boleh memanggilku Uldap sekarang.”

    Sekali lagi, Sisil menoleh tanpa menghentikan langkahnya. Bedanya dengan yang tadi, Sisil lebih lama menatap Ujang. Menatap Ujang berkerut dahi.

    “Uldap?” ulang Sisil, terdengar menggugu.

    Ujang diam, menoleh, menatap mata Sisil. “Emmm jangan beritahu yang lain.”

    Sisil menoleh lagi. Kali ini berhenti melangkah. Ujang turut berhenti, menatap mata Sisil.

    “Ini mau dilanjut pembahasan sebelumnya?” kata Sisil.

    Ujang terdiam beberapa detik, sebelum akhirnya berkelip mata.

    “Ah tidak sekarang. Jangan. Kita ketinggalan rombongan. Ayo jalan,” sergah Ujang diikuti dengan mendorong-dorong pundak Sisil.

    Sisil tidak egois, dia juga sadar sepenuhnya akan hal tersebut. Sembari memutar badan, pusat matanya tidak beralih begitu saja menatap Ujang.

    “Memangnya kau masih berpikir akan bertemu denganku setelah semua ini selesai?” kata Sisil, kembali melanjutkan langkahnya.

Napak TilasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang