Part 32: Keangkuhan 2

153 18 1
                                    

    Hening, dan hanya suara hujan yang terdengar di atas sana. Sisil duduk merentangkan lurus kedua kakinya, dan bersandar pada dinding bivak karya tangan Ujang. Bivak itu tampak dibuat dengan cekatan. Beberapa tiang ditancap ke tanah. Seharusnya itu tidak bisa selesai dengan waktu yang singkat, tapi Sisil harus akui kehebatan Ujang satu hal lagi, selain kemampuan tersembunyi yang Sisil tau sebelumnya—Ujang mampu mendengar dengan detail arah suara hewan buruan.

Sisil masih memeluk perut, memperhatikan Desi yang terbaring. Mungkin sedang berpikir juga, sebab tatapan ke arah Desi tampak ambigu. Mungkin ia berpikir mengapa harus peduli pada orang asing seperti Desi, mengapa tidak pikirkan saja keselamatan temannya? Atau bahkan mungkin dirinya sendiri. Atau barangkali, selain hal itu, Sisil memikirkan hal lain. Bisa jadi asumsi yang dibicarakan Iyan pada Maya, dan Fely adalah benar.

    Srekkk!!

    Sisil tersadar. Tatapannya beralih ke arah luar bivak.

    “Aya Samilotona?” (Dapat sambilotonya?) Sergah Sisil, begitu mendapati Ujang di sana.

    Ujang menggeleng. Sembari di tangan kirinya membawa dedaunan yang cukup banyak.

    “Terus eta naon?” (Lantas apa itu) kata Sisil.

    Ujang masih tidak menjawab. Tapi begitu aktif, dan serius dengan aksinya itu. Ujang mengunyah dedaunan itu, kemudian melepehnya. Sisil paham, dan tampak tidak jijik sama sekali menyaksikan itu.

Setelah itu, ujang mencampurkan dedaunan itu dengan air ke dalam botol.

    “Lamun manehna ges hudang, sina inum sa leguk cai na, Sil,” (Jika dia sudah sadar, suruh minum air ini satu tegukan saja) kata Ujang.

    Satu detik setelah Ujang berkata demikian, Desi pun terbatuk.

    Uhuuuggh

    Sisil, dan Ujang beralih pandang.

    “Desi!?” panggil Sisil.

    Desi mengkerutkan wajahnya. Bibirnya kembali pucat. “Haus,” katanya—tak ubah mengkerutkan wajah.

    Ujang bergegas membantu Desi bangkit. Sisil memberikan Desi sebotol air, dan membantunya minum. Setelah dirasa mulai membaik, Sisil memberitahu Desi jika ia harus meminum ramuan obat dari Ujang itu. Hanya sedikit, sekali teguk saja. Sisil tahu itu rasanya pasti akan sangat pahit. Tapi dibalik semuanya, Sisil mengerti itu akan membuat Desi lebih baik.

Akhirnya Desi meminum ramuan obat itu. Tersenyum pada Sisil, dan Ujang, menandakan bahwa itu membuatnya sedikit baik. Lantas Desi kembali merebahkan badannya. Hujan mulai terdengar ringan di luar. Ujang memeriksanya.

    “Ra’at.” (Hujannya reda) kata Ujang.

    Sisil bergegas keluar bivak.

    “Kau tetaplah di sini. Aku akan coba membuat sup hangat. Aku masih membawa bumbu di tas. Itu persediaan paling penting untuk tim penjelajah,” kata Sisil pada Desi seraya keluar dari bivak.

    Desi mengangguk-angguk kecil, tersenyum sambil memejamkan matanya.

    Sisil, dan Ujang, bergegas menyiapkan perapian setelah hujan benar-benar berhenti. Entah jam berapa malam itu. Sisil, Ujang, bahkan semuanya berharap beberapa menit kedepan, fajar telah datang.

****

    Vera membuka matanya pelan-pelan. Terang, dan hangat. Beberapa detik mematung merebahkan badannya. Beberapa saat kemudian, Vera merasa ada yang aneh, yang dirasakan kulit tubuhnya—hangat. Vera mulai mengumpulkan ingatan, sebelum akhirnya dia benar-benar sadar di mana dia seharusnya. Vera mengangkat kepalanya cepat.

Napak TilasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang