Jakarta, 09 Maret 2008
Sam, Rizal, Jarsip, dan juga Hasbi masih terlelap tidur meski suara jam weker milik Sam yang ditaruh di atas nakas berbunyi cukup nyaring. Pintu kamar kost yang menghubungkan luar ruangan (balkon) pun masih terbuka lebar bekas semalam. Asbak serta secangkir kopi masih terserak di luar sana.
Tiga burung pipit hinggap di pagar besi pembatas teras lantai atas. Memberi suara-suara merdu dengan nyanyian mereka meski tak seindah nuri. Minggu pagi jalanan Ibukota cukup sepi. Bak tak berpenghuni, padahal saja orang-orang bisa lebih baik memanfaatkan suasana pagi ini.
Tiba-tiba, suara ponsel Rizal berbunyi cukup nyaring. Sama kerasnya dengan jam weker milik Sam yang telah berhenti beberapa saat setelah dering ponsel Rizal berbunyi.
Tap!
“halo ...” ucap Rizal dengan mata yang belum terbuka.
“Pasti belum bangun,” kata Desi membalas. “Kami sudah siap di sini,” lanjutnya.
Rizal membuka matanya perlahan. Mengangkat kepalanya, dan memperhatikan sekeliling ruangan. “Sam pun masih tertidur di sofa,” katanya setelah itu.
“Ya ampun ... Jam berapa kita berangkat?”
“Aku tidak tahu.”
“Tanya Sam, Rizal. Bangun. Pemalas.”
“Ah iya iya. Nanti kita kabari lagi,” ucap Rizal masih bernada lemas.
“Awas saja kalau kembali tidur.”
Tuuuut.
Panggilan berakhir. Rizal yang mengakhiri percakapan tanpa menjawab terlebih dahulu.
Minggu pagi jam tujuh pagi. Rizal membuka berat matanya. Memaksa mengangkat badannya yang terasa masih lemas. Padahal saja, dia yang terlebih dulu tidur daripada pria lainnya di ruangan itu.
“Sep!” katanya menggoyangkan badan Jarsip yang terbaring di sampingnya.
“Sep bangun Sep.”
Jarsip menggeliat. Ia hanya menggumam bersuara di dalam mulutnya.
“Woy, bangun Sep!”
“Emmmmm ... Aku tidak ikut ah, pergi saja,” balas Jarsip malas.
Rizal menarik bibirnya. Dia paham betul temannya yang satu ini. Selalu bergurau membatalkan suatu rencana apapun hanya karena dia yang malas untuk bangun. Rizal tidak melanjutkan aksinya. Dia turun dari ranjang, dan berjalan menuju kamar mandi di ruangan itu.
“Sam, jam tujuh, kapan kita berangkat?” katanya sambil berlalu meneruskan niat untuk mandi.
Sam merengah. Ia membuka matanya yang terlihat berat, dan memperhatikan Rizal yang menuju kamar mandi.
Sam mengangkat badannya, lalu mengambil ponsel miliknya. Matanya terbuka lebar mendapati tulisan pada layar ponselnya, panggilan tak terjawab 10x dari Maya. Sam mengucek matanya, bergegas menelpon balik.
Panggilan terhubung.
“Halo, May, maaf menunggu dan membuatmu cemas. Aku baru bangun,” kata Sam begitu panggilan tersambung.
“Hemmmmmh ... Lalu kemana kita selanjutnya? Menyusulkah ketempat kost-mu?” suara di balik telpon terdengar kesal.
“Emmm ... Boleh.”
“Yasudah lah.”
Tuuut!
Panggilan diakhiri oleh Maya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Napak Tilas
HorrorNapak Tilas: sisi mistis tanah sunda Ada satu cerita tentang sebuah perjalanan yang dilakukan oleh delapan muda-mudi dari Ibu Kota Jakarta, menuju sebuah desa Wangunreja, di Kabupaten Sukabumi. Mereka beranggotakan 4 laki-laki, dan 4 perempuan. Ini...