Pagi itu sekitar jam tujuh, cuaca masih sangat dingin, dan embun dari beberapa helai daun belum hilang. Suasana sejuk terasa sangat kental dirasakan oleh beberapa teman Sam, terutama Vera, Fely, dan Rizal.
Vera terlihat sibuk dengan penampilannya di luar halaman depan rumah Sam. Berkaca pada layar mati ponselnya, Vera terus merapikan topi bundar yang kini ia kenakan.
Desi, dan Maya saling mengingatkan satu sama lain, alat atau perbekalan apa saja yang tertinggal? Bisa fatal perjalanan mereka selama menelusuri hutan nanti jika satu saja perlengkapan yang sudah disiapkan, tiba-tiba tertinggal. Tas mereka kini sama, memakai carrier yang Sam pinjam dari teman wanita komunitasnya. Namun hanyalah untuk Desi, karena Maya sudah memakai tas ransel besar itu sejak awal pemberangkatan.
Sam telah siap dengan tas ransel yang sudah menempel pada punggungnya. Ditemani Hasbi, dan Rizal yang kini berdiri di sampingnya menyimak sebuah kertas yang tengah dipegang oleh Sam. Entah apa yang sedang mereka diskusikan di sana?
Sementara Fely yang sudah tersiap diri, duduk di kursi menikmati susu hangat yang dibuatnya sendiri. Di kursi satunya, terdapat Jarsip yang tengah mengikat tali sepatu. Matanya sesekali melirik wanita yang duduk di sampingnya itu. Sadar akan hal aneh yang dilakukan teman lelakinya, lantas Fely menegur.
“Apa sih, Jas?”
“Ah ... Kenapa?” balas Jarsip kikuk.
Fely tidak lantas melanjutkannya. Wanita itu hanya mengangkat ujung matanya keatas, dan membuang muka pada Jarsip.
“Nanti kalau kamu kelelahan, bilang aku ya. Jangan sungkan,” ucap Jarsip sembari berdiri tanpa menatap wajah Fely.
Fely meliriknya. Ada perasaan yang aneh yang Fely rasakan pada sikap Jarsip ketika itu. Maksud batin Fely, Jarsip adalah pria yang selalu membuatnya kesal karena tingkahnya yang selalu menggodanya dengan cara berlebihan. Fely memperhatikannya melangkah mendekati ketiga teman lelakinya di ujung tepi jalan sana.
“Kamu tidak cek barang kamu lagi, Neng?” kata Umi tiba-tiba.
“Emmm ... Sudah, Umi,” sahut Fely tersenyum, lalu menaruh segelas susu yang sedari tadi di genggamnya.
“Sam sudah ceritakan semuanya pada Abah, pada Umi. Perjalanan kalian akan menempuh waktu yang lama. Umi dan Abah akan doakan kalian semoga selamat, sampai kembali pulang,”
Fely tersenyum. “Aamiin.”
Umi membalas senyum hangat.
“Kalian sudah siap?” ucap Sam dengan suara yang sedikit keras di ujung halaman sana.
Fely, dan Umi beralih pandang pada Sam.
“Ya sudah, sok berangkat. Hati-hati di jalan,” pesan Umi pada Fely di dekatnya.
“Iya, Umi.” Fely bangkit, tersenyum.
Ada yang tidak biasa yang Sam tatap di sana. Ia melirik pada Maya. Melihat teman wanita lainnya memasang raut wajah ceria, Maya terlihat lebih menundukan kepala.
Sam mendekati Maya.
Tap!
Sam menepuk bahu Maya. Maya mengangkat kepalanya. Menoleh.
“Kau siap, kan?” tanya Sam kini.
Desi, Fely, dan Vera melirik pada Maya.
Maya tersenyum getir. Ia mengangguk kecil.
“Ada apa, May?” tanya Desi memastikan.
“Kau tampak tidak bersemangat,” tambah Vera.
KAMU SEDANG MEMBACA
Napak Tilas
HorrorNapak Tilas: sisi mistis tanah sunda Ada satu cerita tentang sebuah perjalanan yang dilakukan oleh delapan muda-mudi dari Ibu Kota Jakarta, menuju sebuah desa Wangunreja, di Kabupaten Sukabumi. Mereka beranggotakan 4 laki-laki, dan 4 perempuan. Ini...