Fely nampak bosan dengan situasi malam itu. Entah sudah jam berapa mereka menunggu semua temannya kembali. Entah menunggu Vera yang pergi sendiri mencari Desi. Entah itu menunggu Sam, dan Rizal yang pergi mencari air, atau bahkan menunggu hal yang sedikit kemungkinan untuk dipertemukan. Menunggu Hasbi, dan Jarsip yang sudah dua malam terakhir mereka terpisah.
Lampu senter tetap dibiarkan menyala tanpa ubah posisi yang diapit batuan-batuan untuk membuatnya berdiri, dan mengarahkan cahayanya ke langit-langit. Selain untuk membuat malam agar tidak terlalu mencekam, juga sebagai titik tempat pada teman-temannya yang tengah memisahkan diri dari mereka berdua—Fely, dan Maya.
“Fel, senternya dimatikan saja,” ujar Maya lembut. Sedari tadi ia membaringkan diri dalam sleeping bag miliknya.
Fely meliriknya. “Aku takut mereka tidak bisa menemukan kita di sini.”
Maya bangkit. Ia menyibak sleeping bagnya setengah badan. “Nanti baterainya habis.”
“Dibiarkan saja sampai habis,” sahut Fely bersikeras.
Maya nampak berkerut dahi, menatap Fely.
“Kau percaya malam berikutnya kita masih di hutan ini? Semoga saja nanti pagi, atau sore kita sudah sampai di pemukiman warga, kan? Gak butuh lagi senter,” ujar Fely.
Maya terdiam. Keningnya semakin berkerut. Ia tidak ingin menentang, tidak mau berdebat dengan teman. Namun juga Maya tidak mau mengiyakan kalimat Fely barusan. Bahkan logika yang sudah diyakini seratus persen pun tak pernah terjawab di hutan ini. Semuanya terjadi di luar nalar. Namun dalam diamnya, Maya meng- Aamiin ni ucapan Fely.
Mereka saling bertatapan kini. Keduanya saling berkerut dahi. Fely mempersiapkan diri untuk menjawab kalimat apa yang akan Maya katakan berikutnya, namun Maya memilih diam. Lalu Maya tersenyum getir, dan mengangguk-anggukan kecil kepalanya.
Maya langsung membaringkan diri lagi. Ia kembali menutup badannya dengan sleeping bag. Fely nampak memperhatikan Maya masih dengan berkerut dahi. Fely merasa berdosa, dan mungkin berpikir dalam-dalam yang jelas terlihat di wajahnya. Apakah dia melukai perasaan temannya itu?
Fely pun akhirnya hanya terdiam. Ia duduk memeluk kedua lututnya. Fely kembali memain-mainkan kerikil—bosan.
Tiba-tiba Fely terkejut, sorotan lampu senter menyorot ke arahnya. Fely mengacungkan satu tangan kanan menghadang cahaya yang menyorot ke wajahnya. Menyadari itu, Maya yang baru saja merebahkan badannya kembali bangkit, duduk.
“Cahaya dari mana itu?” ujar Maya.
Cahaya lampu senter diarahkan ke bawah. Lalu terlihat dua pria berjalan mendekati Fely, dan Maya. Itu Iyan, dan Guntur.
Fely menyibak seluruh sleeping bagnya, ia berdiri. Maya ikut berdiri.
“Siapa kalian?” tanya Fely saat Iyan, dan Guntur sampai.
“Bener, pan?” (benar kan) ujar Guntur melirik temannya di sana. Iyan masih memiringkan kepalanya memperhatikan Fely, dan Maya di depannya.
Fely, dan Maya ikut saling pandang.
“Kalian teman Hasbi, dan Jarsip, benar?” ujar Iyan saat itu.
Fely terkesiap, begitupun Maya.
“Ha! Dari mana kalian kenal? Kalian siapa?” Maya yang bertanya kini.
Iyan tidak lekas menyahuti. Ia malah melirik temannya—Guntur, di sisinya. Kemudian menatap langit-langit, dan menggeleng-geleng kecil kepalanya. Maya, dan Fely pun kembali saling pandang—heran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Napak Tilas
HorrorNapak Tilas: sisi mistis tanah sunda Ada satu cerita tentang sebuah perjalanan yang dilakukan oleh delapan muda-mudi dari Ibu Kota Jakarta, menuju sebuah desa Wangunreja, di Kabupaten Sukabumi. Mereka beranggotakan 4 laki-laki, dan 4 perempuan. Ini...