Part 28: Mencapai Titik Akibat

108 14 2
                                    

    “Apa kalian benar-benar tidak mengantuk?” tanya Iyan tiba-tiba.

    Sedari tadi, hening panjang, dan saling menatap api unggun. Maya, dan Sisil melirik pada Iyan. Mereka menggeleng kecil.

    “Baiklah. Jika kalian bersikeras ingin berjaga semalaman. Masuk saja ke dalam tenda. Angin malam tidak baik untuk kesehatan kalian sebagai perempuan,” papar Iyan bersimpati.

    “Kami sudah merasa sakit. Kami terbiasa, dan menjadi bisa,” sergah Fely tanpa mengubah posisi, dan pandangannya.

    Guntur tiba-tiba bangkit berdiri. Maya, dan Fely mengangkat kepalanya, memperhatikan Guntur. Guntur lantas masuk ke dalam tenda. Iyan ikut memperhatikan aksi "teman dingingnya" itu.

    “Emmmmm ... Baiklah. Aku ikut masuk ke dalam tenda,” kata Iyan.

    Maya, dan Fely memperhatikan.

    “Apa kalian akan tidur?” tanya Maya kini.

    Iyan mengangguk mantap. Sejenak hening, dan saling pandang. Kemudian Iyan bangkit. “Jika ada apa-apa, bicaralah.”

    Tiba-tiba sekelebat cahaya menerangi seisi hutan. Maya, Fely, dan Iyan menatap langit-langit. Gemuruh terdengar kemudian.

    Iyan menoleh pada Maya, dan Fely. Mereka pun mengerti. Maya, dan Fely lantas bangkit.

    “Baru malam ini hujan akan turun,” ujar Maya sambil berlalu melewati Iyan.

    Iyan menggeleng-geleng kecil kepalanya. “Awewe.” (Perempuan) desisnya kemudian.

    Akhirnya, semua masuk dalam tenda pramuka yang cukup besar.

    “Jangan menjadi keras kepala. Jika kita mau bekerja sama, bekerja sama lah,” ujar Guntur begitu Maya, dan Fely masuk dalam tenda.

    Maya, dan Fely seketika terpaku diam dari aksinya. Fely melirik tajam pada Guntur. “Tuan, apakah boleh kami ikut bermalam di tenda ini?” timpal Fely kemudian, dibumbui senyum yang dibuat-buat.

    Guntur bergeming.

    “Kami merasa teman perempuan kami ada perasaan lain pada teman laki-laki kalian. Entah pada Hasbi, atau Jarsip,” kata Iyan tiba-tiba. Ia duduk di samping Guntur yang sudah merebahkan badannya.

Sementara Maya, dan Fely, mereka duduk di sudut tenda satunya. Hujan mulai turun perlahan. Semua menatap ke arah luar tenda.

    “Itu bisa di tutup saja?” ujar Maya menunjuk ke arah pintu tenda.

    Iyan kemudian menutupnya.

    “Mengapa kau bisa berpikir demikian?” kata Fely.

    Iyan tidak lekas menjawab. Ia membuka tasnya di sana. Maya, dan Fely memperhatikan. Iyan mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Benda itu di bungkus daun-daun. Di ikat kuat oleh kulit pohon yang disayat tipis.

    Treek!!

    Iyan menaruh benda itu di tengah-tengah mereka. “Daging babi hutan. Sudah dingin, tapi masih nikmat daripada kalian harus makan daging mentah.”

    Maya, dan Fely tidak memperlihatkan reaksi apapun. Kita tahu, mereka tentu sudah sangat lapar. Iyan membuka ikat talinya dengan sebuah pisau kecil yang ia simpan di saku celana. Hidangan terbuka. Hitam entah dimasak dengan cara di bakar, atau dilumuri kecap. Itu tampak padat.

Maya, dan Fely lantas melirik Iyan. Iyan mengasongkan makanannya pada mereka, dengan raut wajah yang ia perlihatkan.

    “Sejak Hasbi, dan Jarsip memutuskan untuk berpisah dari kami, aku, dan Guntur sudah dapat merasakan perubahan yang terjadi pada Sisil.”

Napak TilasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang