Sukabumi, Minggu 09 Maret 2008 14:50
Jalanan yang tidak terlihat bagus seperti jalanan di Ibukota menambah kesan kampung halaman Sam yang masih jauh dari kemewahan. Hamparan ladang sawah, bukit-bukit pegunungan, pohon kelapa, kebun singkong, dan juga pisang menambah keasrian lingkungan. Siapapun yang melihatnya, akan merasa tenang dan dingin dalam pikiran. Itu yang dirasakan Fely, wanita berusia 22 tahun asli kota Jakarta tersenyum haru melihat keindahan yang terpancar dibalik kaca mobil.
“Indah sekali,” gumamnya.
Week weeek wek ...
Suara-suara bebek yang di giring oleh laki-laki pengembala di area persawahan juga menambah kesan pedesaan yang tenang.
Sam yang membonceng Hasbi melaju di depan mobil milik Rizal. Pelan, karena jalanan memang sedikit berlubang. Ada sebuah warung kopi di pinggiran jalan itu. Sam memarkirkan motornya di warung tersebut, dan mampir sejenak. Rizal, juga yang lainnya ikut turun dari mobil.
“A Diman!” panggil Sam dari halaman warung kopi itu.
Halamannya masih berlantai tanah. Hanya ada kursi panjang dan juga meja khusus untuk pelanggan yang singgah dalam perjalanan untuk sekadar memesan kopi. Pemandangan yang terlihat dari warung itu memang sangat eksotis. Tepat sekitar satu kilo meter dari gapura perbatasan desa, warung kopi itu lah yang terlihat pertama. Warung yang paling siap untuk menyambut para tamu, atau siapapun orang yang berkunjung ke desa Wangun Reja, kabupaten Sukabumi.
Jalanannya hanya muat untuk satu mobil. Jika ada mobil lain dari arah berlawanan, salah satu harus mengalah untuk mundur. Mencari sedikit lahan ditepi jalan untuk sekadar memberi ruang jalan bagi mobil di arah berlawanannya. Karena, tepat ditepian jalan kampung Wangun Reja adalah lahan sawah yang luas. Dan warung itu lah yang terlihat pertama kali sepanjang perjalanan.
Lelaki yang Sam panggil namanya tadi, masih terlihat memegang ranting di tengah area persawahan di sana. Lelaki itu tampak berkerut dahi, mengenali sosok wajah siapa yang memanggil namanya di warung.
“Banyak orang, saha eta?” Gumam lelaki itu.
Sam melambaikan tangannya pada lelaki itu, dan tersenyum lebar. Jelas, sam memanggil lelaki itu dengan panggilan Aa. A Diman.
A Diman pun menghampiri.
Sam juga teman-temannya memperhatikan langkah A Diman yang mendekat.
“A Diman sehat?” ucap Sam setibanya A Diman di sana.
A Diman masih dengan mimik bingung mendapati cukup banyak orang di warungnya kini.
“Saha, Pak?” ucap suara perempuan di dalam warung.
Warung tersebut terlihat sederhana. Berdindingkan kayu dan bambu. Termasuk kursi panjang yang kini diduduki teman-teman Sam pun terbuat dari empat bambu panjang. Menjajakan jajanan untuk anak-anak, gorengan, dan buah semangka yang dipotong segitiga tersimpan rapi dalam keranjang yang dibungkus daun pisang.
Kemudian sosok perempuan berusia sekitar 38 tahun keluar dari dalam warung.
“Eh ... Samsu!” kata wanita itu menunjuk Sam.
“Teh Ita. Sehat?” balas Sam sun tangan.
“Eleuh eleuuh Si Samsu?” ucap A Diman setelah lama tertegun tadi.
“Iya A. Masa udah lupa.”
“Eh lain lupa. Asa pangling kitu teh. Haha. Atuh kamu teh betah pisan di Jakarta. Sampe gak pulang-pulang. Kamu sehat, Samsu?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Napak Tilas
HorreurNapak Tilas: sisi mistis tanah sunda Ada satu cerita tentang sebuah perjalanan yang dilakukan oleh delapan muda-mudi dari Ibu Kota Jakarta, menuju sebuah desa Wangunreja, di Kabupaten Sukabumi. Mereka beranggotakan 4 laki-laki, dan 4 perempuan. Ini...