Vera mulai menggigil. Kaos hitam kotornya mulai basah, dan dingin. Vera memeluk tubuhnya. Bibirnya tampak pucat kini. Setetes demi setetes air hujan yang turun malam itu, panjang, dan lama, cukup membuat permukaan tanah menjadi basah juga.
Masih dengan duduk melipat lututnya di tanah, Vera menggigil. Menunduk, memejamkan matanya. Sorotan cahaya lampu senter diseberang, masih mengarah padanya. Hasbi, masih bergetar, menangis, memeluk Jarsip. Gemuruh sesekali masih terdengar keras di langit, pertanda bahwa hujan masih akan membasahi bumi. Situasi semakin buruk. Pikiran berkecamuk. Rasanya seperti mimpi berada di hutan itu. Kejadian-kejadian tidak masuk akal kerap menjadi pelapis di setiap langkah, dan napas.
Mati, atau pulang berdarah-darah. Keduanya bukan opsi baik yang ingin mereka ambil. Namun, tidak ada opsi terbaik selain itu. Kecuali, ini benar-benar mimpi, ini benar-benar sebuah permainan.
Vera tampak mulai membuka matanya pelan-pelan. Ia memicing menatap permukaan tanah. Posisinya tanpa sedikitpun ia ubah. Kedua tangannya masih memeluk tubuh. Dingin. Vera memicing. Bibirnya dikerucutkan, rahangnya mengencang. Vera tampak marah.
Vera mulai mengangkat kepalanya. Ia melihat pada dua teman lelakinya di seberang—Hasbi, Jarsip. Hasbi masih menangis-nangis memeluk Jarsip. Jarsip tampak tidak berdaya. Apakah Jarsip pingsan?
Dep!
Vera menepuk tanah dengan kedua tangannya. Pelan-pelan ia mulai bangkit berdiri. Vera melepas kaos hitamnya, dan menyisakan pakaian mini menutupi tubuhnya kini. Entah apa yang dipikirkan Vera saat itu. Seharusnya itu akan menjadi lebih dingin, menyisakan kaos singlet yang bahkan tidak sampai menutupi bagian pusar di perutnya.
“Hasbi!” Vera berteriak memanggil.
Hasbi tidak merespon sama sekali.
“Bi!” panggil Vera sekali lagi.
Hasbi menoleh pelan. Bibirnya bergetar. Hasbi masih menangis. Lalu tangisnya berhenti setelah menatap Vera di seberang. Hasbi mulai bangkit perlahan, membalikan badannya, mematung memandangi Vera.
Vera mengacungkan satu tangan kanannya, melambai-lambaikan kaos hitam pada Hasbi. Hasbi memiringkan kepalanya—bingung.
“Apa yang kau lakukan?” kata Hasbi.
“Pakaikan ini pada Jarsip.”
Hasbi memalingkan pandangan, memejamkan matanya. Merasa ingin mengucapkan hal-hal gila pada teman wanitanya itu. Hasbi mengerutkan wajahnya.
Hasbi kembali menatap Vera. “Percuma.”
Vera kemudian merenung. Kembali menurunkan tangannya, dan menatap ke bawah. Hasbi benar, Jarsip akan merasa sangat kedinginan dengan kaos yang sudah basah menempel di tubuhnya. Lalu Vera mengangkat kembali pandangannya, menatap Hasbi.
“Kita harus turun ke bawah,” kata Vera.
Hasbi bergeming.
Vera kembali mengencangkan rahangnya. “Lemparkan golok itu padaku!” pungkas Vera.
Hasbi tetap mematung, menatap Vera. Vera memicing memandangi teman lelakinya itu. Kemudia Vera tersadar, apa yang sedang Hasbi lihat. Cahaya lampu senter pun jelas masih menyorot padanya. Vera kembali memakai kaos hitamnya.
Hasbi tampak mengambil lampu senternya. Pelan-pelan ia berbalik badan. Mengambil goloknya yang tergeletak. Hasbi mulai mencari-cari jalan. Hasbi menebas kembali semua semak-semak tebal yang menghalangi pandangan. Ia melakukan aksi tanpa suara di mulutnya. Terlihat aneh untuk Vera.
Pelan-pelan, semak-semak itu tercukur rapi oleh tangan Hasbi. Pandangan semakin jelas antara seberang Vera, dan Hasbi kini. Batuan runcing, dan bulat besar tidak beraturan di hadapan masing-masing. Menurun ke bawah, membentuk lubang dengan kedalaman yang entah seberapa dalam. Tidak ada jalan lain untuk menghubungkan keduanya antara posisi Vera berdiri, dan Hasbi, juga Jarsip di sisi satunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Napak Tilas
TerrorNapak Tilas: sisi mistis tanah sunda Ada satu cerita tentang sebuah perjalanan yang dilakukan oleh delapan muda-mudi dari Ibu Kota Jakarta, menuju sebuah desa Wangunreja, di Kabupaten Sukabumi. Mereka beranggotakan 4 laki-laki, dan 4 perempuan. Ini...