Batu besar yang menancap di tanah itu hampir saja membuat tempat di bawahnya menyerupai goa. Kalau dilihat-lihat, dan diingat-ingat lagi, itu seperti sebuah tempat di film-film luar negeri.
Teguh, Petet, Arda, Rosita, Rani, dan Vera berteduh di bawahnya. Teguh tampak lebih tua dari semuanya yang ada. Mungkin seumuran dengan pemimpin Samsu Salam—Agung Satria, atau satu-dua tahun di atasnya, 26 tahun? Mungkin. Garis-garis di wajahnya memperlihatkan Teguh seseorang yang punya tingkat emosi tinggi.
Untuk yang lainnya tidak bisa ditebak, tapi yang jelas mereka lebih muda dari Teguh. Mungkin seumuran Vera, Rizal, dan Sam—23 tahun. Atau sedikit di atas-bawah mereka, mungkin. Seseorang tidak bisa menilai usia seseorang hanya dengan melihat dari fisik.
Vera semakin kikuk dengan orang-orang asing yang bersamanya kini. Dia semakin merasa diawasi, merasa kurang nyaman. Sembari memakan daging babi yang dilumuri kecap hitam, Vera masih menyapu pandang wajah-wajah para pemburu liar itu dengan pusat matanya.
Sesekali Vera menarik napas, betapa anugerah yang Tuhan beri untuknya malam itu, sehingga akhirnya bisa mengisi perutnya yang sudah lapar. Berhari-hari, bermalam-malam, Vera akui itu sangat menyiksa dirinya. Haus, lapar, pastilah sudah tidak bisa fokus melakukan apapun.
“Kau tidak perlu cemas. Pergilah tidur setelah menghabiskan sisa daging,” kata Rani.
Vera menoleh. Berkerut kening tatkala mendapati Rani berdiri, dan melangkah. Dengan kondisi paha kirinya yang tertembak, Rani masih bisa berjalan? Vera tidak percaya.
“Kami sudah cukup lama dari persembunyian ini, besok kami akan pulang,” lanjutnya masih berjalan ke arah api. Ia mau memakan daging babi yang tengah di masak Petet, dan Teguh. Sebagian daging babi itu sudah diberikan pada macan kumbang.
Rani melirik. “Kau mau ikut kami pulang?”
Vera tertegun demi mendengar kalimat akhir. Tentu saja mau. Vera berhenti mengunyah, menatap Rani lamat-lamat. Benarkah ini? Akhirnya. Lantas Vera mengangguk-anggukan kepalanya, berharap besar untuk itu.
Mendapati respon Vera, Rani lantas menyapu pandang semua temannya, mungkin sebab respon Vera yang sedikit rancu bagi mereka. “Kau baik-baik saja 'kan?”
Vera mengkerutkan dahi, tidak mengerti.
“Kau tersesat ya?” ujar Petet kemudian, yang sedari tadi bungkam.
Vera menoleh. Lalu mengangguk pelan, menatap nanar. Lantas yang lain memicing, saling pandang, lalu melirik Petet. Petet menarik napas, seperti ada dugaan sebelumnya bahwa itu adalah benar.
“Kau dari mana, dengan siapa? di dompetmu tidak ada pengenal lain, selain kartu pengenal dari perusahaan. Kau asli Jakarta? Kenapa bisa di sini?” cecar Rosita berikutnya.
Vera menengok pada Rosita. Rosita berjalan mendekatinya, lalu duduk di samping Vera.
“Iya, aku dari Jakarta,” kata Vera, lirih.
“Jadi benar. Kau bagian dari yang ikut polisi-polisi itu?” sambut Arda, lantang.
Lantas Vera menoleh cepat, menolak tuduhan itu. Vera mengerti pembahasan itu akan mengancam dirinya. Lantas Vera menggeleng-gelengkan cepat kepalanya. “Bukan. aku penjelajah,” timpalnya kemudian.
“Penjelajah?” ulang Rani, tidak mengerti.
“Atas tujuan apa?” sambung Teguh, menatap tajam, alih-alih menginterogasi. Tampak sekali Teguh masih mewaspadai.
Ujung mata Vera tidak berhenti mondar-mandir mirip bola pingpong, menatap satu, beralih ke satunya. Begitu seterusnya karena beberapa pertanyaan dari orang-orang yang beda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Napak Tilas
HorrorNapak Tilas: sisi mistis tanah sunda Ada satu cerita tentang sebuah perjalanan yang dilakukan oleh delapan muda-mudi dari Ibu Kota Jakarta, menuju sebuah desa Wangunreja, di Kabupaten Sukabumi. Mereka beranggotakan 4 laki-laki, dan 4 perempuan. Ini...