Malam terasa sedikit mencekam di hutan pedalaman angkrea. Terlebih atas apa yang telah mereka alami pada saat itu juga. Pedalaman hutan tempat mereka mendirikan tenda perkemahan pada malam ke dua ini pun, sama sekali tidak Sam kenal. Terlebih untuk sebuah namanya.
Vera masih duduk diatas sleeping bag, diapit oleh kedua teman lelakinya di kiri, dan kanan. Masih memperhatikan Sam dengan berkerut dahi. Jarsip, dan Hasbi yang duduk di samping Vera hanya memainkan api unggun dengan ranting. Tanpa ada perbincangan sedikitpun yang mereka lakukan.
Rizal masih bersandar pada pohon besar disana. Masih ada Desi yang duduk menemani pacarnya di sampingnya. Kepalanya bersandar di pundak Rizal. Rizal mengusap-usap kepala Desi. Tatapannya terarah pada kaki kanannya yang masih terbalut perban—meski sebenarnya kosong yang ia lihat. Rizal sedang berpikir sesuatu.
“Ini mie instant terakhir yang akan kita makan,” ucap Fely mebuyarkan keheningan.
Sam menoleh. Semua mengalihkan fokus mereka pada sumber suara.
“Cepat sekali habisnya,” gumam Hasbi.
“Ini malam kedua kita bersantap mie bersama. Sebelumnya, di peristirahatan pertama, dan malam kemah di kubang bagong pun kita semua memakai mie, kan?” kata Maya.
Maya dan Fely sudah seperti bagian dari tim logistik pada tim ini. Setiap kebutuhan makanan yang akan keluar di siapkan mereka.
“Sisa berapa?” tanya Sam.
“Delapan. Ini terakhir,” sahut Fely.
Sam mengangguk-angguk kecil. Dia sedang berpikir sesuatu.
“Kita akan mati kelaparan,” gumam Jarsip.
“Pada hakikatnya, manusia akan bertahan hidup meski tidak makan selama tujuh hari,” sergah Desi yang menyimak.
“Aku tidak yakin,” timpal Rizal datar.
“Sepertinya sudah saatnya rencana ku yang kedua di jalankan,” ujar Sam.
“Rencana apa?” tanya Maya penasaran.
“Aku sudah memikirkan hal ini sebelum kita melakukan penelusuran. Dan aku sudah memberitahukan kalian jika aku telah antisipasi. Aku hanya tidak habis pikir, jika kejadiannya jauh sebelum apa yang telah aku rencanakan.”
Sam menjeda kalimatnya. Menoleh pada Fely. “Tinggal apa saja yang tersisa?”
Fely bangkit. Ia memeriksa persediaan makanan dalam tenda perempuan.
“Masih ada mie instant cup sepuluh. Ada beras mungkin dua atau tiga liter lagi. Lalu ini ...” Fely membawa beberapa bungkus roti dan memperlihatkan pada semua temannya.
“Bagaimana dengan air?” ucap Sam terarah pada Jarsip sebagai penanggung jawab kedua untuk air setelah dirinya.
“Di tas ku masih ada lima botol air besar. Tiga botol lainnya kosong,” terang Jarsip.
“Aku masih ada sisa dua botol minum penuh di tasku,” timpal Maya.
Sam mengangguk-angguk.
“Aku juga masih ada satu. Tapi botol kecil,” tambah Desi.
“Ah itu untukmu saja,” sergah Rizal di sampingnya.
“Baiklah. Aku harap cukup. Di tasku masih ada enam botol besar. Besok kita akan atur persediaan makanan kita.”
“Apa kita akan baik-baik saja, Sam?” Vera cemas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Napak Tilas
HororNapak Tilas: sisi mistis tanah sunda Ada satu cerita tentang sebuah perjalanan yang dilakukan oleh delapan muda-mudi dari Ibu Kota Jakarta, menuju sebuah desa Wangunreja, di Kabupaten Sukabumi. Mereka beranggotakan 4 laki-laki, dan 4 perempuan. Ini...