“Jiga na kudu naek saetik,” (sepertinya kita harus naik lagi) kata Ujang dengan napas yang senggal—berhenti melangkah, menopang tubuhnya. Ia berbalik, menoleh pada Sisil. “Kumaha ceuk maneh?” (bagaimana menurutmu)
Sisil berjalan pelan, mengangguk, dan mengusap peluh di keningnya. Ia tampak lemas. Ujang berkerut kening. “Maneh nte nanaon, Sil?” (kau tidak apa-apa, Sil)
Sisil menatap Ujang hambar, cukup lama. Ujang sedikit menyipitkan matanya, penuh tanya atas tatapan Sisil.
“Kunaon?” tanya Ujang.
Sisil membenarkan posisinya. Tidak beranjak menatap Ujang. Sisil menarik napas, berdiri kokoh di hadapan Ujang.
“Urang hayang apal, Ujang nu ayena saha?” (aku ingin tahu, Ujang yang sekarang ini siapa) kata Sisil.
Sedetik kemudian Ujang baru menyadari sesuatu, Ujang lupa memasang topeng aksinya. Ujang mendelik tanggung, keningnya ikut berkerut kencang. Mendapati respon Ujang seperti itu, Sisil membuang napas panjang, semakin yakin bahwa ada sesuatu dari Ujang. Jika biasanya Ujang bertingkah layak laki-laki yang tidak memiliki kepintaran, maka setelah kejadian tadi, Ujang benar-benar menjadi dirinya sendiri.
Ujang menarik napas, memejamkan matanya sebentar. Ujang sangat mengenal tabiat Sisil. Keberaniannya, kepintarannya, kedewasaannya, Ujang sudah mengenal jauh Sisil, meski hanya baru beberapa hari Sisil bergabung dengan tim pemburu, dan kenal Ujang. Ujang membuang napas panjang, merasa sudah selesai.
“Hampura.” (maaf) kata Ujang.
Sisil memiringkan kepalanya, masih belum berpaling menatap Ujang.
“Salila iyeu urang geus pura-pura jadi batur.” (selama ini aku sudah berpura-pura menjadi orang lain)
Sisil mengukir senyum tipis di bibirnya. Ujang kembali berkerut kening mendapati respon Sisil. Tampak Ujang pun menyadari hal yang lain dalam sosok Sisil. Dugaan Ujang yang selama kebersamaannya mewaspadai, sekaligus menjaga Sisil, apakah akan terjawab benar malam itu?
“Kunaon?” (kenapa) tanya Ujang—merasa rancu atas respon wajah Sisil.
“Terusken,” sahut Sisil tenang.
Ujang merasa kikuk beberapa detik.
“Urang wauh ka maneh, Sil. Emang enya urang patarema nte lila, tapi nu kudu maneh apal, sabenerna urang merhatiken maneh ti sa prak maneh aya.” (aku mengenalmu, Sil. Memang pertemanan kita belum lama, tapi yang harus kamu tahu, sebenarnya aku memperhatikanmu semenjak kau ada)
Kali ini sikap tenang Sisil berubah awas. Sisil memiringkan kepalanya, berkerut kening. Berikut dengan tatapan matanya pada Ujang, sedetik itu Sisil alihkan. Menatap ke arah lain, Sisil tampak berpikir. Lengang beberapa detik, sampai Sisil kembali menatap Ujang.
“Apa yang kau lihat dariku?” tanya Sisil, tajam.
Ujang sedikit tercekat.
Uhukk..
Ujang terbatuk, tersedat ludahnya sendiri akibat tembakan tanya Sisil yang tiba-tiba sudah Ujang duga-duga akan mengarah pada kecurigaannya sendiri.
“Hampura, Sil,” (maaf, Sil) kata Ujang, sekaligus menjeda. Membuat Sisil semakin memeringkan kepala—tidak sabar atas jawaban Ujang.
“Siapa, Jang?” desak Sisil.
Ujang semakin merasa kikuk, dan aneh sendiri pada situasi bersama Sisil malam itu.
“Maneh kunaon jadi make bahasa Jakarta?” (Kau kenapa jadi menggunakan bahasa Jakarta) kata Ujang masih mengkerutkan kening.
KAMU SEDANG MEMBACA
Napak Tilas
HorrorNapak Tilas: sisi mistis tanah sunda Ada satu cerita tentang sebuah perjalanan yang dilakukan oleh delapan muda-mudi dari Ibu Kota Jakarta, menuju sebuah desa Wangunreja, di Kabupaten Sukabumi. Mereka beranggotakan 4 laki-laki, dan 4 perempuan. Ini...