Satu lampu senter dibiarkan menyala di sana. Sengaja di apit batu-batu kecil untuk membuatnya berdiri dan mengarahkan cahayanya ke langit-langit. Ada Maya di samping kiri, dan Fely di samping kanan. Mereka saling duduk terdiam memeluk kedua lututnya masing-masing.
Maya menaruh dagu pada lututnya yang ditekuk. Menggoyang-goyangkan badannya. Fely melakukan hal yang sama. Ia melempar-lempar kerikil tanpa arah—bosan. Malam yang sangat sunyi, sepi. Hanya ada lampu senter milik Fely di sana, dan juga milik Vera yang tidak dibawanya untuk pergi mencari Desi. Sementara milik Maya sendiri, hilang. Kejadiannya ketika pergi untuk buang air kecil bersama Desi di malam sebelumnya, di tempat yang sama.
Leweung Patilasan
Masih menjadi tempat favorit untuk mereka bermalam. Rasanya, angin mulai berani menyentuh bagian kulit Maya, dan Fely. Dingin.“Kau tahu? ...” ucap Maya, sekaligus menjeda.
Fely melirik.
“Sejak aku kecil, Ibuku tidak pernah menceritakan tentang hutan padaku. Ibuku selalu melarangku untuk mengikuti kegiatan berkemah jika sekolah mengadakannya.
‘Dede jangan main-main di hutan ya sebelum usia 25,’ begitu katanya.” Maya tersenyum tipis. Kini ia merentangkan lurus kedua kakinya.
“Aku bertanya kenapa, Ibuku tidak pernah mau menceritakannya lebih jauh. Ibu hanya berkata jika Ibu khawatir. Tapi aku selalu mencurigai sesuatu dibaliknya. Ada jawaban lain yang sebenarnya Ibu sembunyikan, atau mungkin belum waktunya untuk aku tahu.”
Fely berkerut dahi.
“Padahal, sejak masa SMA dulu, aku ingin sekali mengikuti kegiatan seperti ini. Apalagi pribumi di kota-ku, teman-teman sebayaku waktu itu sering melakukan pendakian ke gunung-gunung. Mengajak-ku, tapi Ibu melarang.
“Tapi sekarang, setelah tahu seperti ini ...” Maya menjeda kalimatnya.
“Apa kau menyesal?” sela Fely.
Maya meliriknya. Tersenyum getir, lalu menggeleng pelan.
“Aku merasa menjadi anak durhaka. Aku telah mengabaikan pesan Ibu.” Maya mulai menangis.
Fely memeluknya. “Wajar, Ibu akan selalu khawatir tentang hal ini. Terlebih untuk anak perempuan.”
“Aku tidak pernah merasa mau mengikuti kegiatan yang Sam buat ini, tapi kenapa aku merasa seperti aku tiba-tiba ada di sini. Hiks.”
“Boleh aku bertanya sekali lagi?” Fely membungkukkan punggungnya menatap wajah Maya yang menunduk.
Maya hanya menatap mata Fely sambil menangis pelan.
“Apa kau menyesal?” kata Fely kembali.
Maya terdiam sejenak. Memperhatikan mata Fely, lalu ia mengangguk satu kali. Ia langsung membuang muka dari tatapan Fely. Menongak ke langit-langit, menangis tertahan. Bibirnya bergetar. Sesekali ia menyeka air matanya.
“Hummmh ... Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Mungkin bukan cuma kau. Kita semua merasa menyesal harus berada di tempat ini. Tapi semuanya sudah menjadi kesepakatan kita di awal. Tidak ada yang bisa disalahkan, termasuk diri sendiri.”
“Kau tidak paham, Fely ...” ucap Maya berat. Nadanya bergetar.
“Ya, Ya aku paham. Kau menangis bukan karena penyesalan akan perjalanan ini, kan? Hanya kadung sudah di sini, kita tidak ada yang tahu kejadiannya seperti ini. Itu yang menarik perasaanmu menyesali perjalanan ini. Begitu bukan? Sama, kita semua sama.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Napak Tilas
TerrorNapak Tilas: sisi mistis tanah sunda Ada satu cerita tentang sebuah perjalanan yang dilakukan oleh delapan muda-mudi dari Ibu Kota Jakarta, menuju sebuah desa Wangunreja, di Kabupaten Sukabumi. Mereka beranggotakan 4 laki-laki, dan 4 perempuan. Ini...