Fely terkesiap menaruh botol air hangat yang sedari tadi di tempel pada perutnya. Perempuan itu kini memperhatikan Maya dengan berkerut dahi.
Maya tidak nampak menangis disana. Tidak ada air mata yang keluar seperti orang yang menangis pada umumnya. Maya hanya merengek pelan, dan tangannya tetap mengacung keatas.
Sam semampunya menurunkan tangan kanan Maya yang selalu menunjuk ke atas. Bisa, tapi kemudian ia kembali mengacung setelah Sam lepaskan tangannya.
“Bagaimana ini, Sam?” ucap Fely merasa takut, bingung, dan serba salah.
Sam tidak lekas menjawab. Ia bangkit. Ia memperhatikan Maya yang terus merengek aneh. Tangan kanannya bertolak pinggang. Tangan kirinya meremas rambut yang sudah acak-acakan. Fely memperhatikan Sam—menunggu jawaban.
“Aku tidak terlalu paham dengan situasi seperti ini,” sergah Sam kemudian.
Di satu sisi, Desi telah berhenti menangis. Wajahnya nampak merah padam. Nafasnya terisak. Ia memejamkan matanya, bersandar pada batu besar, di temani Rizal—pacarnya disana.
Sam melirik Rizal. “Bagaimana keadaanya?”
Rizal balas melirik. Sejenak menatap Sam, lalu menggeleng pelan.
Sam semakin gelisah. Vera dan Fely memperhatikan gelagatnya. Sam memperhatikan seisi hutan di jalur kemah mereka. Semua temannya memperhatikan. Sam melirik ke setiap wajah teman-temannya. Entah apa yang harus ia perbuat kini? Sam sendiri bingung.
“Ini yang aku khawatirkan,” ujar Sam kemudian. Pandangannya masih tidak karuan. Melirik ke atas, kiri, kanan. Sesekali melihat pada Maya yang belum berhenti merengek.
“Kau seolah telah mengatur semua peristiwa yang terjadi pada kita,” ucap Fely tiba-tiba.
Sam menoleh. “Apa maksudmu?” sergah Sam sedikit kesal. Ucapan Fely terkesan menyalahkan Sam.
“Kau tahu akan terjadi sesuatu pada Maya, kan?” timpal Fely.
Sam menarik nafas. Kepalanya menongak ke atas.
Rizal, dan Vera memperhatikan Sam. Seolah-olah mereka setuju dengan opini Fely. Mereka menunggu penjelasan Sam.
“Dengar! Kita sedang dalam situasi buruk. Kita semua tahu, kita banyak mengalami peristiwa aneh selama kita disini. Bahkan di malam pertama kita di kubang bagong ...,”
“Bukan itu yang ingin aku dengar,” potong Fely sebelum Sam menyelesaikan kalimatnya.
“Aku baru saja melihat sosok makhluk aneh disini!” sergah Sam menekan.
Rizal, dan Vera mengernyit.
“Aku tidak tahu itu apa? Aku hanya melihat kakinya. Yang jelas, itu adalah sepasang kaki manusia. Tinggi sekali. Bagian badannya tidak dapat aku lihat. Tertutup pohon. Aku langsung berlari ke perkemahan ketika aku buang air kecil tadi,
“Lalu Maya mengatakan dia ingin buang air kecil? Pikiranku tidak kemana-mana. Tidak menebak apa yang akan terjadi pada Maya. Dan tidak memperkirakan Maya celaka. Aku hanya takut, khawatir jika dia akan melihat sesuatu yang aku lihat tadi.
“Dan ...,” Sam menjeda pemaparannya. Ia merasa percuma menjelaskan semua.
“Cukup!” sergah Rizal. Ia mulai bangkit.
“Kita ada disini sekarang. Di dunia mereka. Aku sering membaca buku mengenai hal-hal semacam ini. Konon, ada sebuah gerbang yang tidak kasat mata menuju ke dunia mereka jika kita pergi ke hutan yang belum tahu jalurnya,”
KAMU SEDANG MEMBACA
Napak Tilas
KorkuNapak Tilas: sisi mistis tanah sunda Ada satu cerita tentang sebuah perjalanan yang dilakukan oleh delapan muda-mudi dari Ibu Kota Jakarta, menuju sebuah desa Wangunreja, di Kabupaten Sukabumi. Mereka beranggotakan 4 laki-laki, dan 4 perempuan. Ini...