Bah Ja'i masih duduk bersila menunggu diskusi antara anak-anak muda di hadapannya. Entah pembahasan apa yang ditangkap oleh Bah Ja'i dari ketiga muda-mudi di dekatnya saat itu? Sam, Rizal, Hasbi, saling berkerut kening berbincang serius, dan sesekali menunjuk pada Bah Ja'i. Bah Ja'i tidak mengerti dengan pasti.
Dari sudut lain, ada juga hal sama yang dialami Vera. Saat itu Vera duduk sendirian tanpa mengubah posisi. Menyisir wajah-wajah asing di dekatnya saat itu yang baru saja Vera kenal. Vera berkerut kening, sesekali menatap datar pada api. Tidak mengerti apa yang sedang orang-orang asing itu bicarakan di dekatnya. Rosita sesekali bersuara lantang membuat Vera terkejut, dan melirik padanya takut-takut. Tapi Vera tidak mengerti, apa yang sedang Rosita bicarakan dengan teman-temannya.
Ada Rani yang tampak lebih dewasa, lebih tenang, berani merangkul Rosita yang tampak emosi di sana. Sesekali Vera memandang Teguh, hanya untuk memastikan tindakan apa yang akan ia ambil jika memang benar bahwa Teguh adalah pacarnya Rosita di sana. Itu saja yang Vera tahu.
Petet menjadi penengah, kalau-kalau Rosita kembali dengan suara lantangnya, tampak emosi tinggi pada lawan bicaranya—Arda. Teguh tampak selalu diam. Duduk-duduk saja menopang kedua lutut, dan menunduk tanpa sesuatu yang ia tatap sempurna di sana. Kosong.
Di sisi lainnya, ada Fely juga yang tampak membiarkan Maya, Iyan, dan Guntur berdiskusi matang dengan bahasa mereka, tanpa mau Fely tegur, dan potong diskusinya agar mereka menggunakan bahasa yang Fely mengerti. Fely tahu, mereka sedang berdisukusi penting. Fely hanya mau mengikuti apa yang sudah menjadi hasil baik nantinya.
Fely tidak mau ikut campur, karena Fely tahu, itu sangat rumit. Mereka mungkin akan merasa kagok kalau diskusi penting itu, harus mereka gunakan dengan bahasa kedua. Fely yakin, semua akan baik-baik saja.
Sesekali Fely menatap lamat-lamat pada Maya. Ia membayangkan dirinya berada dengan sosok yang kuat sekarang, benarkah? Bahkan Fely tidak mempercayai situasinya sendiri. Fely berkelip mata ketika Maya mulai meliriknya, mengangkat kedua bahu—bertanya 'ada apa' padanya.
Ujang, dan Sisil berdiri menatap tajam ke arah yang sepertinya akan mereka lalui malam itu juga. Dengan sorotan cahaya lampu senter yang Sisil pegang kini, ia mengarahkannya ke depan.
Malam itu, Sisil, dan Ujang mungkin sudah sepakat dengan aksi yang akan mereka ambil selanjutnya, setelah kejadian apa yang saat itu mereka alami. Desi menghilang, lalu tiba-tiba dipertemukan sosok perempuan berwajah besar, dan rambut panjang.
Dalam pikiran panjangnya, barangkali Sisil berpikir jika sosok-sosok makhluk di hutan itu bukan sekadar membuat ketakutan, tapi bisa mengancam. Sisil sudah sangat siap dengan itu. Dengan pengalamannya berburu, keberaniannya harus berguna di level lebih tinggi. Sekali lagi Ujang berpikir, yang mereka hadapi saat itu bukan binatang yang tidak melawan, lalu bukan juga para manusia (polisi hutan) yang bisa mereka hindari. Ini adalah sosok lain, di luar level.
Ujang melirik pada Sisil, menatapnya lama, sebelum akhirnya Sisil balas menatapnya. Mereka mengangguk berbarengan.
Braak .. Braaak ..
Langkah kaki dengan sepatu boots berwarna hitam, menghentak kuat permukaan tanah yang berlapis tipis rumput liar kotor. Cahaya senter mengarah kedepan. Iyan yang mengarahkannya di sana.
Iyan berhenti sejenak, menoleh ke belakang. Maya ikut berhenti, berdiri di belakang Iyan. Fely, juga Guntur di barisan terakhir yang juga memegang senter milik Fely.
“Ada apa?” kata Maya, menatap Iyan berkerut kening.
Iyan menatap sejenak, lalu menggeleng pelan. Kembali berbalik badan, dan mengarahkan kembali cahaya lampu senter ke depan. Tidak ada jalan setapak jalan, tidak ada jalur sejenis jalur. Semuanya semak-semak, berbagai tanaman aneh di mata Fely, dan Maya merambat di sisi kiri, kanan. Mereka benar-benar blusukan menyusuri jalan, dan meninggalkan tempat favorit mereka selama dua malam terakhir—Leweng Patilasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Napak Tilas
HorrorNapak Tilas: sisi mistis tanah sunda Ada satu cerita tentang sebuah perjalanan yang dilakukan oleh delapan muda-mudi dari Ibu Kota Jakarta, menuju sebuah desa Wangunreja, di Kabupaten Sukabumi. Mereka beranggotakan 4 laki-laki, dan 4 perempuan. Ini...