Lebaran sebentar lagi!
Antusiasme warga kompleks Hunian Asri menguar di udara semenjak pagi. Ibu-ibu adu cepat pergi ke pasar diantar para suami atau anak laki-laki. Memborong bumbu dapur, daging ayam, bahkan daging sapi. Bagi para istri, lebaran adalah ajang silaturahmi sekaligus unjuk bakat tersembunyi. Sementara itu, para bocah terlihat sumringah. Memamerkan petasan macam apa yang dibelikan sang ayah untuk membuat suasana malam nanti lebih meriah.
Di luar sana, semarak lebaran telah membumbung tinggi. Berbanding terbalik dengan tiga pemuda yang telah menghela napas kasar berpuluh kali.
"Ini gimana, sih, anjrit?!" keluh Jonghyun. Salah satu penghuni kontrakan berprofesi sebagai barista kopi. "Gue mending disuruh grinding kopi seharian, dah, daripada bikin ginian. Liat, masa jadinya jajar genjang!"
Di sebelahnya, Minhyun (si pengontrak lain) menggerakkan tangan mengelus dada. "Sabar, inget masih puasa." Padahal pekerjaannya sendiri belum membuahkan hasil sejak tadi.
Berbeda dengan keduanya, si pemilik kontrakan bernama Aron dengan mahir menggerakkan jemari. Menganyam satu demi satu janur berwarna hijau muda hingga membentuk belah ketupat.
"Nyerah, ah. Pusing!" seru Jonghyun, lagi.
"Yang nyerah bayar kontrakan dua kali lipat," jawab Aron enteng.
Jonghyun berjengit. "Mana bisa kayak gitu?"
"Bisa, kan, kontrakan ini punya gue."
Jonghyun mengerucutkan bibir. Mengurungkan niat untuk bangkit dan kembali ke kamar.
Setelah selesai menganyam janur menjadi ketupat, memasukkan beras, dan mengukus beras di dalam panci besar, ketiganya memilih ngaso di teras kontrakan. Menikmati semilir angin sambil mengamati para marbot berjibaku mendirikan tenda di depan masjid.
"Kenapa dipasang tenda, emang gak cukupkah di dalem masjid?" tanya Aron. Alisnya mengerut pertanda ia benar-benar clueless.
"Biasanya jemaat yang pergi sholat ied bakal lebih banyak ketimbang jemaat solat di waktu lain. Abang mau tau contohnya?" Minhyun menyenggol betis Jonghyun dengan kakinya. "Nih, macem orang ini. Dateng ke masjid pas sholat teraweh pertama sama sholat ied doang."
Jonghyun mengorek kuping dengan telunjuk, kemudian berlagak seolah mendapatkan kotoran dan melemparnya ke sembarang arah; tengah berpura-pura membuang omongan Minhyun barusan.
"Justru itu gue temenan sama anak sholeh macem lu," kata Jonghyun.
"Biar ketularan sholeh?"
"Kagak." Jonghyun menggeleng. "Kata pak Ustad waktu ceramah, teman yang sholeh bakal ngajak temennya masuk surga. Nah, lo temen gue, jadi ntar otomatis lo ajak gue masuk surga, 'kan?"
Satu geplakan kasar mendarat di kepala Jonghyun. "Ngaco, anjir! Pemikiran macam apa itu!"
Meski gak begitu mengerti, tapi Aron tetap tertawa. Terlebih ketika Minhyun mengimbuhkan, "beginilah jadinya kalo teraweh pas ceramah belom selese udah balik." Karena hal itu betulan terjadi.
Sebagai seorang non-muslim yang menghormati pemeluk agama lain, pun selaku bapak semang yang juga tinggal seatap dengan keduanya, Aron jelas paham tabiat masing-masing penghuni. Berbanding terbalik dengan Minhyun yang akan pergi ke masjid sebelum azan isya berkumandang, Jonghyun malah baru pergi ketika kalimat pujian kepada Tuhan yang menandakan sholat tarawih akan dimulai, kemudian pulang ketika sang ustad baru akan ceramah. Parahnya lagi, ia seringkali tidak berangkat ke masjid dengan alasan-alasan yang variatif dan kadang lebih memilih main petasan banting dengan bocah-bocah ingusan.