13. Menginap di Gang Sebelah

41 13 0
                                    

Matahari kembali bersinar terik, membuat ketiga pemuda yang duduk di bangku depan kelas mengibaskan seragam yang mereka kenakan.

"Gerah banget, ya?" keluh Haechan lalu merebahkan tubuhnya pada tempat yang masih kosong.

"Iya. Hari ini panas banget. Aduh, hampir aja gue ngumpat," balas Jeno.

"Gue bilangin bunda loh, Kak," ancam Renjun pada Jeno.

"Kan nggak jadi ngumpat. Jangan dibilangin."

"Nanti beliin es teler dulu." Renjun memang suka sekali menggoda saudara kembarnya tersebut. Jeno pun menghela napas panjang.

"Iya, deh. Daripada ngambek, gue juga yang repot."

Haechan menggelengkan kepala melihat pertengkaran suadara kembar tersebut. Sementara Renjun tampak tersenyum penuh kemenangan.

"Puasanya hampir jalan setengah, ya?" Pertanyaan dari Renjun mendapat respon berupa anggukan dari Haechan dan Jeno juga jeno, meskipun sedikit malas menanggapi adiknya.

"Eh, gue jadi kepikiran. Nanti buka puasa di rumah gue, yuk?"

"Emangnya boleh, Chan?"

"Ya bolehlah, Jun."

"Tapi kan rumah kita depan belakang."

"Penting kan beda rumah. Lo mau nggak?"

"Ya mau," jawabnya raut wajah yang menggemaskan.

"Boleh nggak, Kak?" lanjutnya kemudian. Jeno yang ditanya pun diam sejenak, melirik saudara kembarnya itu dengan sedikit tajam.

"Hm, kalau gue sih boleh. Nggak tau kalau bunda."

"Nanti Kakak yang minta izin, dong. Biar dibolehin." Jeno kembali menghela napas. Pemuda itu tidak bisa berkutik jika menyangkut adiknya.

"Iya, deh."

Bel tanda pulang pun akhirnya berbunyi. Haechan, Jeno, dan Renjun segera menuju halte untuk menunggu bus. Setekah sampai di rumah, Renjun segera mengemas beberapa barang pribadinya. Sementara Jeno tampak menggelengkan kepala melihat saudara kembarnya yang terlihat sangat antusias tersebut.

"Kak, bawa apa lagi, ya?" tanya Renjun di sela aktivitasnya.

"Emang yakin dibolehin sama bunda?"

"Ih, kan kakak yang bilang mau izin."

"Kalau nggak boleh?"

"Adik ngambek," ucapnya lalu mengerucutkan ujung bibirnya, membuat siapa pun yang melihat akan merasa gemas.

"Kakak turun dulu, deh. Mau coba izin ke bunda."

Jeno melangkahkan tungkainya turun dari lantai dua. Matanya menelaah sekeliling, namun bundanya sudah tidak ada di ruang tengah. Jeno pun berjalan menuju kamar, akan tetapi hasilnya sama saja. Hingga akhirnya terdengar suara orang yang sedang bergelut dengan peralatan dapur dan menimbulkan aroma yang semerbak memenuhi ruangan. Jeno memutuskan untuk melangkah ke arah dapur. Benar saja, perempuan cantik yang telah melahirkannya sedang berusaha untuk memberikan santapan terbaik untuk buka puasa nanti.

Ragu untuk mendekat, Jeno masih mematung, memandangi bundanya dari belakang. Sesekali, pemuda itu berjalan mondar-mandir. Bundanya sudah mempersiapkan berbagai masakan, lalu Jeno harus bagaimana? Pemuda itu tidak mau membuat bundanya sedih.

"Kenapa, Kak? Kok dari tadi ada di situ?" Ah, ternyata sedari tadi bundanya menyadari akan kehadiran Jeno. Jeno pun tersenyum kikuk sebelum akhirnya ia putuskan untuk mendekat ke arah bundanya lalu memeluk sang bunda dari belakang.

"Enggak, kok. Bunda lagi masak apa?" tanyanya dengan dagu yang ia letakkan di pundak sang bunda.

"Banyak! Masak soto, goreng tahu sama tempe, bikin sambal, terus bunda juga bikin kolak!" jawab bunda dengan penuh semangat.

Jeno berpikir sejenak, bagaimana ia akan meminta izin kepada sang bunda? Bundanya telah bekerja keras dengan mempersiapkan semua hidangan tersebut sendirian.

"Asik! Bakalan enak banget pasti, Bun."

"Kakak sama adik mandi dulu sana. Biar capeknya juga hilang."

"Iya, Bun. Nanti kalau butuh bantuan, panggil kakak sama adik aja, ya."

Jeno kembali menuju kamar. Adiknya sudah tampak gembira menunggu kabar dari kakaknya tersebut.

"Gimana, Kak? Boleh, kan?" tanya Renjun dengan wajah yang begitu ceria. Jeno masih terdiam.

"Yah, nggak boleh, ya?" Renjun langsung memasang muka cemberut.

"Bunda udah masak banyak banget. Nanti kalau kita buka puasa di rumah Haechan, kasihan bunda, dong."

"Apa Haechan disuruh buka puasa di sini aja, Kak? Nanti malamnya baru izin bunda buat nginep di rumah Haechan?"

"Iya, ya? Coba kakak chat Haechan dulu."

"Telepon aja, Kak."

Jeno mengangguk lalu segera menekan kontak bertuliskan nama Haechan di ponselnya.

"Halo, Chan? Gue belum jadi izin karena bunda gue udah terlanjur masak banyak banget hari ini. Kalau buka puasanya di rumah gue, terus nginepnya nanti baru di rumah lo, gimana?"

"Wah, bentar. Gue tanya dulu sama nyokap. Jangan ditutup dulu."

Jeno dapat mendengar suara Haechan yang sedang meminta izin kepada ibunya. Suara Haechan terdengar sangat keras.

"Halo, Jen. Gue—"

"Iya, udah tahu. Orang suara lo kenceng banget. Boleh, kan? Gue bilang ke bunda dulu. Makasih, ya."

"Yo! Sama-sama. Gue ke situ sekarang, ya."

"Asik! Boleh kan, Kak?" tanya Renjun dengan penuh semangat. Jeno pun menjawab dengan sebuah anggukan sembari melebarkan senyumnya.

Tak lama kemudian, pintu rumah Jeno dan Renjun diketuk. Jeno segera turun dan membuka pintu. Sesuai dugaannya, Haechan berdiri di depan sana. Bunda si kembar pun menyambut dengan senyum ramah. Haechan membantu mempersiapkan hidangan di atas meja makan. Beberapa saat kemudian, ayah si kembar pun pulang. Jeno, Renjun, dan Haechan segera menjabat tangan pria paruh baya tersebut.

"Haechan buka puasa di sini, Nak?" tanyanya dengan senyum ramah sembari mengelus puncak kepala Haechan.

"Iya, Om."

"Yah, nanti aku sama kakak mau nginep di rumah Haechan. Boleh?"

Ayahnya diam sejenak. "Em, boleh atau enggaknya, tanya saja ke bunda. Ayah mau mandi dulu," ucap ayahnya tersenyum lalu berjalan meninggalkan mereka bertiga.

Akhirnya, tiba saatnya untuk berbuka puasa. Semua menyantap masakan dengan begitu lahap. Setelah beribadah bersama, Renjun segera bertanya kepada sang bunda.

"Bunda, aku sama kakak mau nginep di rumah Haechan. Boleh?"

"Boleh. Asal nggak merepotkan."

"Iya, kami nggak bakalan bikin repot, kok. Terima kasih, Bunda." Renjun menghambur ke dalam pelukan bundanya. Jeno pun tidak mau kalah, ia turut menyusul ke dalam pelukan bunda. Begitu pula dengan Haechan, bunda si kembar mengizinkannya untuk turut bergabung ke dalam pelukan.

Jeno, Renjun, dan Haechan menghabiskan malam bersama. Setelah cukup lelah karena melakukan kegiatan peribadatan bersama di masjid kompleks, mereka pun terlelap dalam bunga tidur.

 Setelah cukup lelah karena melakukan kegiatan peribadatan bersama di masjid kompleks, mereka pun terlelap dalam bunga tidur

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
NgabuburitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang