"Apa karena Vira ngelarang lo, Jadi lo nggak mau nikah sama gue?"
Gue nggak tau sekurang ajar apa pertanyaan yang gue lontarkan tanpa berpikir ini, tapi tetep aja... gue nggak kaget sewaktu hadiah berupa tamparan cukup keras yang mendarat di pipi gue.
"Pulang, Ga."
Dengan kalimat sederhana itu, Nina memilih menyudahi aktivitas yang tadinya menyenangkan ini. Dia terlihat sangat sakit hati, tapi gue nggak peduli. Dengan handuk seadanya, gue kejar dia ke kamar tepat sebelum pintu itu hendak tertutup.
"Pergi, Ga! Gue capek."
"Nggak bisa, Nin," jawab gue nahan pintu dia. "Oke oke, gue salah. Gue minta maaf. Tapi please... eh, jangan ditutup, denger dulu... kita bener-bener harus ngomong."
"Ega, lain kali aja ya. Tolong... pulang..." rengek Nina mau nangis.
"Nggak ada lain kali!"
"Iya nggak ada... Makanya gue kasih lo free pass!"
"Kalau gue nggak ambil?"
"Lo gila namanya."
"Gue emang udah gila. Lo ada masalah???"
Nina mencengkeram kedua kerah kemeja gue. "Lo harus ambil. Lo nggak mikir apa ke depannya?"
"Kita berdua akan capek urus anak. It will, tapi..."
"YA KALO LO CAPEK AYO BERHENTI!"
"APA GUE HARUS BERHENTI KALAU LO MAU BESARIN DIA SENDIRI???"
"LO ADA MASALAH APA SIH? LO DIKASIH JALAN ENAK NGGAK MAU. LO PIKIR GUE MAU BEGINI? GUE JUGA NGGAK MAU!"
"LO CAPEK, IYA GUE TAU. MAKANYA AYOK SPEAK UP! MAU SAMPAI KAPAN KITA BEGINI?"
"YA SAMPAI GUE GUGURIN DIA!"
"..."
Nggak ada dari kita yang bersuara setelahnya. Nina sibuk merutuki dirinya, dan gue sibuk mencerna apa yang dikatakan Nina.
"Gue nggak paham," ucap gue pada akhirnya setelah sepersekian detik yang terasa begitu lama. "Lo bilang mau besarin dia. Terus ini... Maksud lo tadi... Apa?"
"U-udah denger kan?" jawab Nina gugup. "Ya gitu. Gue boong. P-pulang gih sana."
"Ya-gitu-boong gimana maksudnya?"
"Ega, please..."
"Jelasin, Nin."
Nina menghela nafas. Dia menggigit bibirnya kecil, menyelipkan sejumput rambutnya ke belakang telinga, dan kalau aja gue nggak begitu marah, mungkin gue akan paham kebenaran di balik omongan dia yang sama sekali nggak masuk di akal tentang dia, klinik, dan anak di dalam kandungannya ini.
"Kenapa?"
Cuma pertanyaan itu yang bisa gue keluarin.
"..."
"At least gue sebagai bapaknya berhak tau. Kenapa lo mau gugurin dia? Bayi yang sama sekali nggak ada dosa?"
Nina memindahkan tumpuan kakinya dari satu sisi ke sisi lainnya. Gesturnya gelisah, seolah dia hendak menciptakan kebohongan terbesar dan mau gue untuk percaya.
"Nin, jawab."
"Karena..." ucap dia lambat-lambat. "Karena... Itu, Ga... Jadi, gue mau lakuin itu... Karena..."
"Malu?" tembak gue.
Nina mendesah lega dan mengangguk cepat. "Iya... malu. Karena gue malu."
Gue memijat pangkal hidung lelah. "Apa selain Vira, ada yang tau lo hamil anak gue?"
Nina pura-pura menatap gue ngeri, tapi gue terlalu bloon untuk sadar. "Jangan sampai, please."
"Kita udah dewasa. Harusnya nggak masalah kita punya anak di umur sekarang."
"Meski kita nggak ada ikatan pernikahan? Lo mau mereka ngasih selamat atas dasar apa?"
Gue terdiam. Iya, atas dasar apa, oon? Lo sok-sok bijak sama Nina. Lo sendiri punya hak apa sama dia?
"Apa nggak ada jalan lain?" tanya gue. "Apa lo keberatan kalau gue yang akan besarin dia?"
"Lo pikir semudah itu? Lo pikir semua orang akan bilang happy for us?"
"Kita nggak butuh..."
Ucapan gue terhenti. Gue sadar siapa yang Nina maksud dengan "semua orang". Amarah yang tadinya hanya tertuju ke gue sendiri, kini menjalar dengan cepat ke orang lain.
"Semua orang itu include Bayu?"
"..."
"Jadi lo malu karena lo nggak mau dipandang jijik sama Bayu?" tanya gue nggak suka.
"Gue nggak mau jawab."
Gue mendekat ke Nina dan setiap langkah yang gue ambil, gue bisa liat bagaimana perubahan wajah Nina yang semakin mendekati tahap histeria.
"Ega, lo mau apaaa?"
"Jawab! Lo pernah tidur sama dia?"
Nina menatap gue menusuk, tapi dia memilih bungkam. Otomatis, bayangan Nina dan Bayu saling bertindihan membuat gue nggak bisa kontrol diri. Jari-jari gue sekarang terlalu menekan kedua bahu Nina, membuat dia meringis kecil.
"Ega, sakit..."
"JAWAB! Pernah atau nggak?"
"Nggak mau!"
"UCAPIN, NIN."
"Ucapin... Apa?"
"Kalau gue satu-satunya yang pernah nyentuh elo," bisik gue setengah meminta. "Ucapin, Nin. Ucapin kalau Bayu sama sekali nggak pernah..."
"Bayu pacar gue."
Nina tau betul emosi gue. Dan gue percaya dia nggak akan berbohong di keadaan emosi gue yang kayak gini. Gue emang childish karena meminta Nina ngomong kayak gitu. Tapi gue beneran mau gila ngebayanginnya, meski pada faktanya gue tau Nina nggak akan seperti yang gue takutkan.
"Lo mau gue pergi kan? Oke. Gue pulang. Salam buat pacar lo. Dan lo... Thanks for making me a joke."
"..."
Gue berharap Nina nahan gue, tapi gue juga lagi nggak mau disentuh dia sekarang. Gue harus menenangkan diri. Persetan kemana. Apa gue pergi ke neraka aja sekalian sekarang?
"Ega, tunggu."
Nina nyusul gue. Langkah kecilnya terdengar di sepanjang koridor apartemen dan gue nggak setega itu ngebiarin dia lari demi bajingan kayak gue.
"Ega..." panggilnya dengan nafas terengah-engah. "Ini..."
Gue menatap jaket yang dia ulurkan. Tangan gue mengambil jaket itu, jaket kulit yang udah gue tinggal berbulan-bulan disini karena Nina bilang, dia tenang di rumah sendirian kalau ada bau gue.
Dan hari ini Nina mengembalikan itu.
"Thank you," ucapnya dengan senyum yang pengen gue bunuh.
Gue nggak membalas senyumnya. Gue cuma pasang wajah datar, seperti yang dia mau. "Kalo sukses, juga kalau ada apa-apa, kabarin."
"Gue nggak akan kenapa-kenapa. Tenang aja."
"Gue nggak tanya lo. Gue cuma minta lo kabarin soal dia di dalem sana. Gue pergi dulu."
Gue nggak bermaksud sedingin ini dengan Nina, tapi ternyata otak gue lebih memahami maksud Nina dan bereaksi dengan sendirinya.
"Hati-hati, Ga."
Gue cuma mengangkat tangan tanpa menoleh. Gue tau Nina masih menatap gue bahkan saat gue udah masuk lift. Seolah mata gue tembus ke balik pintu itu, gue tau dia lagi nahan tangis sekarang. Tapi gue bisa apa? Dia yang minta gue menjauh.
*****
Kira-kira bakal digugurin nggak nih sama Nina?
Setelah ini mau yang uwu-uwu aja. Capek gue nulis angst terus.
KAMU SEDANG MEMBACA
HELLO, FRIEND
RomanceAda yang bilang jika sahabatan antara cowok dan cewek itu mustahil. Gue sih nggak setuju. Bagi gue yang punya sahabat cewek secantik Nina, nggak ada tuh perasaan-perasaan aneh selama hampir jalan 4 tahun kita sahabatan. Tapi gue rasa gue akan bisa k...