1.2. Convince Her

35.1K 677 2
                                    

Ini udah berhari-hari dan gue masih mikir gimana cara bujuk Nina yang hobi tidur dan paling males diajak liburan dengan jarak tempuh berjam-jam itu, di tengah-tengah ramainya kedai Mak Inah, kedai paling laris di kampus, pas cewek gue, Helen, tiba-tiba meluk lengan gue dengan manja.

"Kak Ega mikirin apa?"

Gue senyum kecil nanggepin pertanyaan Helen. Cewek centil anak jurusan bahasa yang udah jadi top score diantara mantan-mantan gue ini lagi cari perhatian. Risih, gue nggak bisa gerak, tapi gue juga nggak munafik kalo gue suka rasa dada Helen yang nempel di lengan gue.

"Mikir kenapa lo nggak bisa ikut ke party Vira lusa nanti."

"Oh, itu. Helen denger dari Kak Al, nanti juga ada Vanes dan Kat ya?"

"Iya," jawab gue kalem. "Kenapa? Mau ikut karena mereka ada?"

"Helen sih mau banget. Jagain Kak Ega biar nggak deket-deket mereka. Tapi Helen kan udah bilang ada acara keluarga yang nggak bisa ditinggal."

Helen natap gue menggoda sebagai permintaan maaf dan langsung gue bales dengan tatapan yang sama. Sialan, gue jadi kangen tatapan sayunya pas kita main di kosan.

"Lo kapan sih selesainya?"

Helen nanggepin pertanyaan gue tentang mens atau some shit itu dengan ketawa centil.

"Helen juga kangen sama Kak Ega," bisiknya malu-malu.

"Kalo kangen, ayo."

Dia nanggepin ajakan gue dengan naruh tangannya di paha gue, cukup deket dari pangkal paha tapi juga masih dalam jarak normal kalo-kalo ada yang liat.

Gila, rame gini, ni cewek berani juga.

"Belum ada seminggu. Sabar Kak."

Gue mau protes lagi, tapi Helen kemudian gesek-gesekin pelan tangannya disana. Cukup untuk buat gue mingkem. At least, gue dapet penghiburan walau dikit.

"Kak Ega tumben disini, nggak langsung pulang bareng Kak Al. Biasanya juga mampir kemana gitu."

Nggak gue jawab. Bodo amat, gue udah nggak konsen. Gue cuma nopangin dagu dan natap Helen dengan sesekali senyum jahil ke beberapa anak yang udah mulai natap curiga ke arah kita berdua.

"Kak Ega suka?"

"Lo lihai banget sih."

"Really? Nggak ada tempat lain?"

* * *

Aksi saling berbisik kita berdua terhenti karena gangguan dari suara yang udah sangat gue hafal itu. Tipe-tipe suara bawel yang gue udah mulai terbiasa selama 3 tahun lebih ini.

"Eh, Kak Nina."

Gue nahan senyum geli waktu Helen langsung ngelepas belaian tangannya dan dengan senyum canggung menyapa Nina, seolah Nina adalah nyokap gue dan dia takut memberi kesan buruk padanya. Gadis yang bertampang dingin itu sekarang ini ada di depan kita berdua dan gabung duduk semeja.

"Eh, Helen," balas Nina dengan nada yang sama sekali nggak bersahabat.

Gue meringis kecil waktu ngeliat Helen yang langsung ciut dan buru-buru pamit dari sana. Gue liat kepergian dia sampai berbelok ke balik gedung Teknik, sekalipun nggak melepas pandangan dari ayunan pinggulnya yang seksi.

Nina cuma geleng-geleng kepala ngeliat tingkah gue.

"Kayak nggak ada cewek lain aja."

"Kalo lo lupa, dia pacar gue."

"Helen? Please," jawab Nina penuh sarkasme.

"Kenapa? Nggak ada yang salah dengan Helen."

"I see," balasnya malas.

"Lo lain kali yang lebih ramah bisa kan? Kasian cewek gue kayak kucing ketemu anjing gitu."

Nina memutar matanya sebal denger omelan gue. Tanpa banyak bicara, kemungkinan besar bete karena gue tegur, Nina lantas minum cola gue.

"Nin?" Panggil gue lembut.

"Apa?" Jawabnya ketus.

"I am okay sama dia."

"Gue khawatir."

"Kenapa?"

"Gimana gue nggak khawatir? Lo tau kan reputasi dia kayak apa? Lo nyari yang sebanding gitu maksudnya?"

Gue paham banget yang Nina maksud. Helen emang manis, tapi dia nggak dikenal sebagai cewek baik-baik. Banyak anak kampus yang sering pergoki dia jalan bareng Om-Om, tentunya sebelum sama gue.

Tapi masalahnya, gue nggak dalam posisi buat nolak Helen. Enggak kalo kita berdua bisa puasin satu sama lain. Enggak karena setidaknya dengan Helen, gue nggak perlu khawatir ruined dia. Dia dan gue sama, kita rusak luar dalam. Jadi apa masalahnya?

"Soal ajakan gue kemarin," gue berdeham mengalihkan pembicaraan, "Gimana? Lo ikut?"

"Nggak tau."

"Kok nggak tau?"

"Ya nggak tau."

"Elah. Ngambek mulu."

"Bodo."

"Karenina..."

Nina langsung mendongak menatap gue denger panggilan itu. Dia hafal kalo gue udah manggil dia dengan nama panjangnya, berarti gue lagi nggak mau main-main.

"Gimana ya Ga?"

"Lo ikut atau enggak? Jawab susah amat."

"Capek nggak sih? Lembang kan lumayan jauh juga. Trus nanti kalo di tengah jalan gue males dan pengen balik, gimana? Kalo gue nggak betah di hawa dingin, gimana? Ega, lo tau gue. Gimana kalo nanti disana gue..."

"Kan ada gue," gue potong omongan Nina dengan kalimat itu dan dia langsung menatap gue ragu. "Ada gue, Nina. Gue akan jagain lo."

"Tapi..."

"Ini ulang tahun Vira. Dia sahabat baik lo. Alden sahabat baik gue. Lo nggak kasian sama mereka?"

Nina menimbang sebentar dan mengerucutkan bibirnya lucu. Gue mengulum senyum karena gue tau, gestur dia itu menandakan kalo dia udah kalah dan gue yang kali ini menang bujuk dia.

"Gue jemput sabtu pagi. Siap-siap. Gue nggak mau telat."

* * *

HELLO, FRIENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang