5.4 Windbreaks

10.5K 343 6
                                    

"Come on dude, lo megang sabuk hitam kalau lo lupa." Peringatan Al menggema dan gue masih nggak ada niatan berhenti tanding taekwondo. "Cih. Mending lo adu sama gue. Biarin mereka balik."

"Berisik banget lo. Mau sabuk hitam kek, putih kek, yang penting kan tenaga gue masih manusia biasa. Bukan Hulk juga."

"Anjing, napas mereka udah tinggal setengah. Lo mau mereka wasalam?"

"Emang iya kalian udah mau mati?" tanya gue tanpa basa-basi ke para junior kampus itu. Serentak, mereka menggeleng bersamaan. "See? Nggak ada yang keberatan tuh."

"Kalian kalau ngomong yang bener, bangsat!" teriak Al emosi ke mereka.

Dion yang ada di sisi Al ikut terkekeh. "Sabar kenapa Bos. Udah kena gebug Ega, pake lo amuk juga. Double kill."

"Mati sih enggak, sakaratul maut iya," timpal Gana miris.

"Lagian Ga," lanjut Dion, "mending ke Pesta Olivia daripada bonyok-bonyokan disini."

Gana mengangguk semangat. "Bener... bener... Gue suka ide lo."

"Iyelah... lo liat aja, Al juga kayaknya udah nggak sabar tuh pengen ketemu sang mantan terindah."

"Sekali lagi gue denger suara lo, kita berdua yang tanding sekarang!" peringat Al tajam.

"Bacot lo semua! Minggat sana!!" Maju ke tengah matras, gue tunjuk satu orang yang paling pojok dan paling ngos-ngosan. "Kribo! Maju lo sini. Cepetan! Lelet amat! Lo jalan apa ngesot hah?"

Baru mau ngelewatin satu ronde, gue dengar suara ribut-ribut di pintu masuk sasana. Beberapa detik berikutnya, tamparan kecil melayang ke belakang kepala gue, dan...

- ANJING!!! Siapa? -

...Gue balik badan, sekali lagi, - kali ini - sebuah tendangan, terarah ke tulang kering gue, melayang dari satu kaki kecil yang bahkan tinggi tubuh pemiliknya nggak sampai sedagu gue.

"Oooo, mau sok jadi preman sekarang?" Nina, orang yang jadi alasan gue ngelakuin hal gila ini, tengah menatap gue dengan mata menyala, berkacak pinggang menuntut penjelasan, dan membuat gue membenci diri gue sendiri.

Gue benci karena hati gue berkhianat, karena pada faktanya gue bahagia liat dia disini, di hadapan gue, dan gue harus menutupinya dengan nggak menatap mata dia sama sekali.

"Ngapain lo disini?"

Nina bersedekap kesal. "Apalagi selain mencegah lo melakukan pembunuhan massal."

Berusaha menghindar dari Nina, gue memilih melampiaskan amarah dengan mengedarkan pandangan ke sekeliling dan menunjuk muka para junior malang itu satu per satu. "Ngaku lo semua, siapa yang cepu disini? Bangsat, nggak ada yang mau ngaku? Lo semua mau gue suruh lari sampai kalian mampus hah?"

Nina mengerang dan memegang tangan gue erat. "Apa-apaan deh pake nunjuk-nunjuk muka. Nggak sopan!"

"Nggak sopan mana sama tukang ngadu?"

"Ya lo tau lah nggak mungkin juga mereka," sahut Al nggak sabar. "Lo pikir mereka berani? Noleh aja mereka takut..."

"Sebenernya guys..." Vira, yang sejak tadi mengekor tak jauh dari Nina, mengangkat tangan. "Gana yang chat gue."

Mendengar itu, Gue dan Al langsung mengumpat bersamaan.

"Nggak ada akhlak!" sungutnya dengan nada terkhianati. "Lo udah janji nggak bakal ngomong ya, Vir."

Vira nyengir kuda. "Sorry deh, tapi daripada mereka yang jadi mangsa, kan mending lo."

"Ni-niat gue baik kok. Sumpah. Ini demi mencegah pembantaian. Efektif, kan?"

HELLO, FRIENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang